YOGYAKARTA – Kuliah di kampus Universitas Gadjah Mada tentu menjadi impian bagi sebagian siswa SMA. Tidak terkecuali dengan dua orang ini dulunya, Puji Utomo dan Atik Winarti. Meski berasal dari keluarga kurang mampu, tidak memupus impian dan semangat mereka untuk meraih cita-cita demi menggapai masa depan dengan terus tekun belajar. Bahkan selama kurang lebih empat tahun, mereka pun membuktikan bahwa mahasiswa dari keluarga kurang mampu bisa lulus dengan predikat Cum Laude pada wisuda Sarjana UGM pertengahan Februari lalu.
Puji Utomo, 22 tahun, menceritakan kedua orang tuanya bekerja sebagai penjual ikan di Pasar Juwana, Pati, Jawa Tengah. Setiap hari orang tuanya berangkat menjelang tengah malam dan pulang pada keesokan harinya. Menjadi penjual ikan sudah dilakoni dalam waktu 6 tahun terakhir. “Dulu bapak itu tukang becak,” kata Puji yang lulus sarjana Teknik Sipil, Fakultas Teknik dengan predikat lulusan terbaik.
Anak dari Pasangan Waso dan Rudiah ini mengaku dari enam saudaranya, hanya dirinya sendiri yang menikmati bangku kuliah. Keterbatasan ekonomi menyebabkan kakak-kakaknya memilih langsung bekerja dan menikah setelah tamat sekolah. Berbeda dengan Puji, setelah lulus SMA ia mendaftar kuliah di UGM melalui jalur beasiswa Bidik Misi. Setelah dinyatakan lulus, Puji meyakinkan pada orang tuanya dengan berjanji tidak akan meminta uang kepada mereka untuk biaya kuliah. Sebaliknya hasil tabungannya dari sisa uang saku beasiswa, digunakan untuk tambah modal usaha bisnis ikan ayahnya yang sempat merugi. “Alhamdulillah sekarang usaha bapak sudah lancar,” kata Puji yang mengatakan usaha ikan sang ayah capai satu kwintal sehari.
Mendapat tambahan uang saku dari beasiswa keluarga miskin diakui Puji memang sangat membantu. Uang saku sebesar Rp 600 ribu sebulan selama 4 tahun sebagian besar digunakan untuk mencukupi kebutuhan biaya hidup selama kuliah. Namun dengan bertambah tahun, kebutuhan kuliah pun menjadi semakin bertambah. Alhasil, Puji sempat tinggal di masjid sebagai penjaga masjid di daerah Pogung Utara.
Meski tidak memikirkan masalah sewa kontrakan, namun untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Puji mencari uang tambahan dengan mengajar di beberapa tempat bimbingan belajar. Dia pun sempat mengajar pada anak-anak difabel. “Di kelas anak-anak difabel saya sempat ngajar selama dua bulan,” kata Puji yang selama awal kuliah menggunakan sepeda ontel.
Meski memiliki pekerjaan sampingan di luar kampus, Puji tetap selalu memperhatikan kuliahnya. Mahasiwa angkatan 2010 ini pun bisa lulus dengan predikat Cum Laude dengan IPK 3,86. Kini setelah lulus, Puji berencana untuk kembali ke desanya di Bakaran Wetan, Juwana, Pati.”Saya ingin ikut gerakan sarjana pulang bangun ke desa,” kata Puji yang sempat ditawari mengajar di salah satu perguran tinggi di Lombok.
Tidak berbeda dengan Atik winarti, lulusan sarjana Ilmu Peternakan ini, menyelesaikan kuliah dalam waktu 4,4 bulan dengan IPK 3,78. Wanita asal Babadan, Gunung Jati, Cirebon ini mengaku terpaksa menambah kuliah satu semester karena lamanya penelitian untuk skripsi. Dikarenakan beasiswa Bidik Misi hanya berlaku 8 semester, Atik pun harus membiayai kuliahnya sendiri. Dari sisa tabungan uang saku beasiswa, ternyata hanya cukup untuk membayar SPP dan uang kontrakan yang sudah jatuh tempo. Atik pun harus rela makan satu kali sehari. Beruntung teman-temannya mafhum dan membantu meminjamkan uang atau sekedar mentraktir makan.“Saya sempat dua hari tidak makan, hanya minum saja, padahal saya harus tetap ngajar,” kenangnya.
Meski selama 6 bulan, Atik harus hidup prihatin. Atik tetap tidak ingin membebani ayahnya yang kini sudah tidak lagi bekerja sebagai buruh bangunan karena faktor usia. Sementara ekonomi keluarga hanya mengandalkan ibunya yang menjadi buruh pengrajin rotan. Bagi Atik, hidup dengan mengencangkan ikat pinggang menjadi hal biasa baginya. “Kita harus bisa survive. Harus irit,” terangnya.
Selama kuliah, kata Atik, ia mencari uang tambahan dengan mengajar les privat untuk anak-anak SD. “Dari mengajar ini, saya dapat Rp 300 ribu sebulan,” kenangnya.
Di samping mengajar, Atik sempat berjualan kue bersama teman-temanya di alun-alun selatan pada malam hari. “Kita sempat jualan selama dua bulan, karena kesibukan masing-masing akhirnya bubar,” katanya.
Di bangku kuliah, Atik aktif di kegiatan kompetisi dana hibah penelitian. Atik pun pernah medapat juara tiga dalam Debat Mahasiswa Peternakan Tingkat Nasional. Setelah diwisuda pada 17 Februari lalu, Atik mengaku ia beruntung mendapat beasiswa Bidik Misi yang kini mengantarnya bisa menyelesaikan kuliah hingga selesai, “Tidak terbayang bagi saya, bila tidak ada beasiswa ini” ujarnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)