Hakikat misi Lembaga Alkitab Indonesia secara universal dalam menerjemahkan Alkitab adalah untuk menyebarkan Firman Allah secara efektif dan bermakna seluas-luasnya, di dalam bahasa dan media yang mudah dipahami dan dimengerti. Dengan cara penerjemahan yang senantiasa bersumber pada naskah asli ke dalam bahasa ibu, menjadikan mereka yaitu para pengguna bahasa itu dapat menerima dengan jelas isi pesan firman tersebut.
Kenyataan, mayoritas umat Kristen di Indonesia tidak dididik secara khusus untuk membaca Kitab Suci dalam bahasa-bahasa “asli”, yaitu Ibrani, Aram, dan Yunani. Oleh karena itu, untuk membaca dan menghayati Firman Tuhan, mereka pada umumnya bergantung pada terjemahan-terjemahan yang tersedia dalam berbagai bahasa.
“Kenyataan ini memiliki implikasi yang penting dalam pemahaman umat akan Firman Allah. Artinya Unsur-unsur makna yang terkandung dalam teks-teks sumber jelas telah melalui suatu ‘saringan’ awal para penerjemah sebelum dituangkan ke dalam bahasa sasaran”, ujar Drs. Bena Yusuf Pelawi, M.Hum, di ruang Multimedia Gedung R.M. Margono Djojohadikusumo, Fakultas Ilmu Budaya UGM, Rabu (25/2).
Dosen Fakultas Sastra Universitas Kristen Indonesia (UKI) mengatakan hal itu, saat dirinya menjalani ujian terbuka untuk memperoleh gelar doktor Ilmu-Ilmu Humaniora (Linguistik) FIB UGM. Didampingi promotor Prof. Dr. I. Dewa Putu Wijana, S.U., M.A dan ko-promotor Dr. F.X. Nadar, M.A, promovendus mempertahankan desertasi berjudul “Penerapan Teknik, Metode, dan Ideologi Penerjemahan dan Dampaknya terhadap Hasil Terjemahan Teks The Gospel According to Matthew dalam Teks Bahasa Indonesia”.
Menurut Bena Yusuf Pelawi, jika tugas menerjemahkan secara sederhana diartikan sebagai mengalihbahasakan, mengungkapkan kembali apa yang dimaksud dalam teks sumber, maka hasil terjemahan itu mau tidak mau merupakan pengungkapan kembali oleh penerjemah yang bersangkutan menurut apa yang diketahui dan dipahaminya dari teks sumber. Oleh karena itu, hasil terjemahan seseorang sangat tergantung pada beberapa faktor, misalnya, kompetensi penerjemah dalam bahasa teks sumber dan bahasa sasaran.
“Juga keterampilan penerjemah dalam mengungkapkan kembali apa yang dipahaminya dari teks sumber, asumsi-asumsi penerjemah mengenai sasaran dari terjemahannya, ataupun jenis sastra (genre) bahan yang diterjemahkannya,” papar Yusuf Pelawi.
Dengan demikian dapat dapat dikatakan untuk memperoleh hasil terjemahan yang baik dibutuhkan proses penerjemahan yang baik pula. Penerjemahan yang paling baik adalah menggunakan bentuk bahasa yang wajar dalam bahasa sasaran (BSa). Bahwa suatu terjemahan harus mampu mengkomunikasikan makna yang sama seperti halnya makna yang dimengerti oleh pembaca dalam bahasa sumber (BSu).
Dari Sudut pandang penerjemah, Yusuf memandang penerjemahan adalah proses pengambilan keputusan dalam komunikasi interlingual, suatu komunikasi verbal yang melibatkan dua bahasa yang berbeda, yaitu bahasa sumber dan bahasa sasaran. Dalam kaitan itu, semua keputusan yang diambilnya akan selalu dilandasi oleh ideologi yang dianutnya.
“Dalam konteks penerjemahan, ideologi yang dimaksud adalah sistem kepercayaan, cara pandang, budaya, dan norma yang dimiliki penerjemah yang akan mempengaruhi perilaku penerjemahannya”, jelasnya. (Humas UGM/ Agung)