Pemukiman di Pegunungan Dieng terbentuk atas konsep kemenyatuan bagenen-botolan atau tunggal bagenen-botolan. Konsep tersebut bermakna kemenyatuan dalam wadah yang saling terhubung. Ir. Heri Hermanto, M.T., dosen prodi Arsitektur Universitas Sains Al Quran, Jawa Tengah mengatakan bahwa tunggal baganen-botolan merupakan wujud kesadaran transedental pada pembentukan pemukiman warga masyarakat di Pegunungan Dieng. “Bagenen yang terhubung oleh botolan merupakan elemen yang selalu terdapat di dalam rumah masyarakat Dieng serta menjadi wadah utama berlangsungnya aktivitas sosial, budaya, dan ekonomi warganya,” jelasnya saat ujian terbuka program doktor di Fakultas Teknik UGM, Kamis (26/2).
Dalam disertasi berjudul “Tunggal Bagenen-Botolan sebagai Kesadaran Transedental pada Pembentukan Permukiman di Pegunungan Dieng”, Heri menyebutkan bahwa terdapat tiga konsep utama yang mendasari terbentuknya pemukiman masyarakat Dieng yakni konsep terhubung, nyepetno laku, dan brayan. Konsep terhubung berarti terhubung satu sama lain, sedangkan konsep nyepetno laku bermakna memperpendek jarak, dan brayan berarti menggunakan secara bersama-sama. Tiga konsep tersebut menggarah pada kesadaran tunggal bagenen-botolan mengatur keterhubungan ruang pada semua skala ruangan di pemukiman warga Dieng. “Tiga konsep itu dapat dilihat di semua skala ruangan pemukiman di Dieng. Bagenen yang terhubung oleh botolan dalam skala mikro, latar ombo yang terhubung jalan latar pada skala meso, dan fasilitas umum terhubung jalan terabasan di skala makro,” papar pria kelahiran Wonosobo 48 tahun silam ini.
Kesadaran tersebut, kata dia, melampaui kesadaran adanya hubungan kekerabatan dan pertalian darah yang dipahami sebagai persaudaraan yang luas tidak hanya terikat hubungan persaudaraan, akan tetapi sebagai persaudaraaan antar sesama. Sehingga hal tersebut menimbulkan rasa menyatu dalam wadah yang saling terhubung.
Menurutnya, adanya temuan konsep pemukiman tersebut melahirkan pengetahuan baru yaitu pemukiman pegunungan yang dalam penataannya tidak berdasar pada kosmologi terkait dengan keberadaan gunung. Pemukiman di Pegunungan Dieng justru terbentuk dari tata nilai yang bersifat universal yang dianut masyarakatnya. Disalamnya terkandung nilai-nilai Islam seperti silaturahmi, sodaqoh, dan egaliter. “Tata nilai itu telah diyakini masyarakat sejak dulu, lalu semakin kuat saat dakwah Islam masuk di Pegunungan Dieng,” jelas Heri.
Terkait dengan penataan kawasan pemukiman di Pegunungan Dieng, Heri menyampaikan sejumlah rekomendasi. Antara lain menggunakan konsep tunggal di setiap kegiatan yang akan dilakukan yaitu dengan menyatukan dan merangkul berbagai kepentingan yang terlibat didalamnya. Kemudian untuk perencanaan pemukiman di wilayah tersebut, ia menekankan perlunya mempertimbangkan penggunaan konsep pertalian. Hal tersebut dilakukan dengan menciptakan sistem sirkulasi yang dapat menjangkau seluruh fasilitas pemukiman dengan mempertimbangkan aspek-aspek kedekatan dan kecepatan. Misalnya, konsep perumahan tanpa pagar halaman dan sirkulasi penghubung antar blok dengan semacam jalan tritian masih perlu dipertahankan. (Humas UGM/Ika)