Dalam hidup sehari-hari, penyakit hirschsprung (HSCR) yang menjadi salah satu penyebab utama konstipasi kronis pada anak semakin banyak ditemukan. Sebagai penyakit kongenital yang ditandai dengan penyumbatan pada usus besar karena otot-otot dalam usus bergerak dengan tidak semestinya, penyakit hirschsprung merupakan penyakit dengan etiologi sangat komplek, multigenik dengan penetrasi sangat rendah dan ada faktor lingkungan yang mempengaruhinya (multifaktorial).
“Operasi sebagai prosedur rutin penanganan penyakit ini, tentu tidak secara otomatis menyelesaikan permasalahan kesehatan yang dialami anak akibat komplikasi yang ditimbulkannya,” ujar dr. Titis Widowati, Sp.AK, staf medik sub Bagian Gastroheptologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak, RSUP Dr. Sardjito, Kamis (26/2) saat menjalani ujian terbuka Program Doktor di Fakultas Kedokteran UGM.
Titis mengungkapkan, penyakit hirschsprung merupakan kelainan malformasi kongenital yang ditandai dengan tidak terbentuknya ganglion saraf esterik pada lapisan submukosa (pleksus Meissneri) dan lapisan myenterik (pleksus Auerbachi) di bagian distal kolon. Hingga kini, katanya, HSCR sebagai salah satu penyebab utama konstipasi kronis pada anak.
Menurut Titis, penyakit HSCR adalah penyakit yang diwariskan dan seringkali disebabkan oleh mutasi germline pada gen RET dan EDNRB. laporan-laporan penelitian sebelumnya memperlihatkan tentang mutasi gen RET dan EDNRB, ini sebagai penyebab penyakit HSCR menunjuk adanya perbedaan antar etnis.
“Di Indonesia, hingga saat ini belum pernah dilakukan penelitian mengenai hal ini. Oleh karena itu penelitian dalam desertasi saya bertujuan mencari tipe mutasi gen RET dan EDNRB, sejauh mana frekuensi mutasi gen RET dan EDNRB serta pengaruh mutasi gen RET dan EDNRB terhadap protein reseptor yang dikode,” katanya.
Dalam desertasi “Mutasi Gen RET (REarranged during Transfection) dan EDNRB (Endhotelin B Receptor) pada Anak Indonesia dengan Penyakit Hirschsprung” disebutkan insidensi penyakit HSCR diperkirakan 1 per 5000 kelahiran hidup, namun insidensi ini bervariasi antar etnis. Pada etnis Asia, insidensi penyakit diperkirakan 2,8 per 10.000 kelahiran hidup.
Oleh karena itu, Titis menandaskan, diagnosis dini dan penanganan komprehensif menjadi sangat penting untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas. Mengingat penyebab penyakit hirschsprung multigenik menuntut penguasaan tentang penyakit ini, mulai dari tingkat molekuler genetik.
“Para klinisi diharapkan menguasai hal itu, agar dalam menangani penyakit ini dapat dilakukan secara komprehensif, mulai dari upaya preventif hingga ke terapi yang optimal,” tuturnya. (Humas UGM/ Agung)