Masyarakat pesisir, khususnya nelayan, biasanya menggunakan pengetahuan tradisional sebagai guide dalam kegiatan mereka di laut. Dari pengalaman turun temurun, mereka telah dapat mempertimbangkan keadaan iklim, arus, migrasi burung-burung untuk mendeterminasi tempat-tempat penangkapan ikan dan biota laut lainnya. Salah satu contoh pranata sosial yang dilakukan oleh masyarakat Teluk Tanah Merah, Depapre, Jayapura adalah Tiyaitiki. Tiyaitiki adalah pengetahuan mengatur, mengelola, memanfaatkan dan melestarikan sumber daya laut dan pesisir dalam konteks lokal.
”Penelitian ini mengkaji tentang pengetahuan Tiyaitiki sebagai kearifan lokal dan kaidah sistem konservasi pada umumnya serta mengkaji peran serta masyarakat sekitar perairan Teluk Tanah Merah Depapre Jayapura dalam penerapan sistem konservasi Tiyaitiki,” kata Puguh Sujarta dalam ujian terbuka Fakultas Biologi UGM, Sabtu (28/2) di Fakultas Biologi UGM.
Dalam disertasinya berjudul “Sistem Konservasi Tiyaitiki Dengan Pendekatan Biologi di Perairan Teluk Tanah Merah, Depapre, Jayapura”, Puguh mengatakan peran serta masyarakat di sekitar teluk cukup besar dalam pelaksanakan sistem konservasi Tiyaitiki berdasarkan persepsi masyarakat terhadap konsep alam. Pertama, didasarkan atas konsep dasar mengenai pandangan masyarakat tentang alam yang disimbolkan sebagai seorang ibu, sumberdaya sebagai air susu ibu atau diibaratkan sebagai mama, ibu atau wanita. Kedua, adanya praktek hak ulayat laut yang dilakukan oleh masyarakat tersebut memiliki fungsi sosial berkaitan dengan aspek solidaritas sosial antarwarga.
”Hasil survei terhadap distribusi ekosistem terumbu karang di kawasan perairan Teluk Tanah Merah Depapre menunjukkan merata sepanjang pesisir pantai dalam kondisi masih baik maupun yang rusak,” imbuh dosen Jurusan Biologi FMIPA Universitas Cenderawasih itu.
Menurut Puguh, Tiyaitiki adalah suatu pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat adat sebagai suatu sistem konservasi yang berbasis kearifan lokal. Hal ini dapat diartikan bahwa Tiyaitiki adalah suatu pengetahuan, namun secara tidak sadar yang dilakukan oleh Masyarakat Adat Suku Tepra dapat dikatakan Tiyaitiki sebagai ilmu. Alasannya, karena kearifan lokal ini sesuai peraturan perundang-undangan dan sesuai hasil kajian pendekatan biologi yang dikatakan bahwa kualitas perairan masih baik. Kedua alasan tersebut dapat dikatakan bahwa Tiyaitiki sebagai ilmu pengetahuan. Selain hal itu, dalam pelaksanaan Tiyaitiki juga menggunakan teknologi dalam pengelolaan sumberdaya alam. Salah satu contoh penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan.
“Tiyaitiki selain sebagai ilmu pengetahuan juga mencirikan suatu teknologi sehingga kearifan lokal Tiyaitiki dapat dikatakan sebagai IPTEK,” jelasnya.
Di akhir paparan Puguh berharap sebagai sebuah IPTEK kearifan lokal Tiyaitiki perlu dikembangkan dan dilestarikan untuk menjadi sebuah aturan tertulis dalam pengelolaan sumberdaya alam. Dalam hal ini upaya penguatan Tiyaitiki mempunyai aturan tertulis menjadi sebuah prosedur operasional standar. Dengan adanya prosedur operasional standar kearifan lokal Tiyaitiki dapat dipertahankan keberadaannya dan diterapkan di wilayah perairan yang lain. (Humas UGM/Satria)