Perilaku kewargaan organisasional merupakan perilaku positif, sehingga organisasi perlu terus mengembangkan dan mengkaji anteseden yang mendorong perilaku tersebut. Perilaku kewargaan organisasional sebagai perilaku atau kinerja yang berada di luar peran yang harus dimainkan dipengaruhi oleh variable kepribadian dan motif karyawan.
Oleh karena itu, rekruitmen karyawan semestinya mempertimbangkan faktor-faktor tersebut. Sebagai perilaku positif di tempat kerja, perilaku kewargaan organisasional perlu terus dilaksanakan, bahkan didukung pengembangannya guna meningkatkan produktivitas organisasi.
Demikian disampaikan staf pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Dorothea Wahyu Ariani SE MT saat melangsungkan ujian terbuka program doktor, Kamis (3/1) di Sekolah Pascasarjana UGM. Promovenda mempertahankan desertasi “Model Hubungan Motif, Modal Sosial, Dan Kepribadian Dengan Perilaku Kewargaan Organisasional†dan bertindak selaku peomotor Prof Dr Djamaludin Ancok dan ko-promotor Dr T Hani Handoko MBA.
Studi Dorothea ini, mengintegrasikan tiga teori yang mempengaruhi perilaku kewargaan organisasional karyawan, yaitu teori atribusi, teori pertukaran sosial dan kepribadian evalusi diri inti, serta menggunakan dua penilai dalam menilai perilaku kewargaan organisasional karyawan. Selain menguji model hubungan motif, tujuan utama penelitian ini juga mengukur dimensi struktural, relasional, dan kognitif dalam modal sosial serta kepribadian evaluasi diri inti dengan perilaku kewargaan organisasional.
Sebagai bentuk kinerja atau kinerja di luar peran yang harus dimainkan, katanya, perilaku kewargaan organisasional dapat dinilai dengan penilaian diri maupun penilaian pihak-pihak lain, baik supervisor, rekan kerja, maupun pengikutnya. Menurutnya, perilaku kewargaan organisasional juga berkembang dalam budaya atau tata nilai yang mendukung. Individu yang menganut norma atau nilai kolektivistik lebih mampu melaksanakan perilaku kewargaan organisasionalnya.
Selain itu, perilaku tersebut dilaksanakan oleh individu yang memiliki kemampuan berinteraksi dengan orang lain. “Namun, tidak semua dimensi dalam perilaku kewargaan organisasional terkait dengan kolektivisme. Budaya kolektivisme ini ternyata mempengaruhi pandangannya dalam melaksanakan perilaku kewargaan organisasional tersebut untuk dirinya atau untuk organisasinya,†ujar Dorothea Ariani.
Penelitian yang dilakukan di industri perbankan di Pulau Jawa, menggunakan studi eksploratif model in-depth interview dengan Bank Indonesia, menunjukkan kota/ kota besar dengan PDRB perkapita tinggi (Rp 3 juta atau lebih) memiliki tingkat kesibukan tinggi. Bahwa, kantor cabang bank umum di kota tersebut mempunyai nasabah jauh lebih banyak dibanding kantor cabang bank umum di kota dengan PDRB rendah.
Dari responden karyawan atau staf teller (bukan kontrak, honorer maupun paruh waktu) di 128 kantor cabang bank umum di 16 kota kota besar di Pulau Jawa, dengan masa kerja lebih dari satu tahun diketahui faktor kepribadian evaluasi diri inti berpengaruh terhadap disposisional. Kepribadian tersebut berpengaruh langsung pada perilaku kewargaan organisasional maupun dimediasi oleh motivasi melakukan perilaku tersebut.
“Hasil studi ini juga menunjukkan bahwa penilaian diri dan penilaian supervisor terhadap perilaku kewargaan organisasional berbeda secara signifikan,†tambah perempuan kelahiran 3 April 1971 ini, yang dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude.
Disamping memberikan manfaat praktis, penelitian istri Drs Yuvensius Sri Susilo MSi, ibu dua anak ini, menunjukkan bahwa perilaku kewargaan organisasional merupakan perilaku positif di tempat kerja yang mendukung kinerja individu dan keefektifan organisasi.
Selain itu, perilaku kewargaan organisasional sebagai perilaku di luar peran yang harus dimainkan sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari perilaku kerja yang dituntut dalam pekerjaannya atau yang sesuai dengan peran yang dimainkannya.
“Sehingga karyawan melaksanakan perilaku tersebut demi organisasi atau perusahaan tempat mereka bekerja (motif memperhatikan organisasi), bukan untuk kepentingan rekan kerja (motif nilai-nilai sosial) atau dirinya sendiri (motif manajemen impresi),†tandasnya. (Humas UGM).