Persoalan lingkungan belum banyak mendapat tempat dalam pemberitaan media massa. Pada umumnya pemberitaan yang muncul belum menampilkan ulasan secara mendalam. Dosen FISIP Universitas Airlangga, Yayan Sakti Suryandaru, S.Sos., M.Si., mengatakan isu lingkungan memiliki keunikan tersendiri dibanding isu lain karena memiliki kompleksitas hubungan sebab akibat dalam menjelaskan sebuah peristiwa lingkungan. Sehingga dibutuhkan pemahaman yang memadahi untuk memahami persoalan lingkungan yang sangat teknis dan komplek.
“Pada praktiknya, belum banyak jurnalis yang memiliki kemampuan tersebut sehingga isu lingkungan menjadi momok bagi jurnalis. Mereka jadi enggan melibatkan diri pada isu-isu lingkungan yang bersifat kompleks,”kata Yayan, Jum’at (13/3) saat ujian terbuka program doktor di Sekolah Pascasarjana UGM.
Fenomena tersebut rupanya juga terjadi pada pemberitaan di surat kabar harian Radar Madura. Kebanyakan jurnalis belum mampu menjabarkan permasalahan dan inti dari konflik. Kapasitas jurnalis dalam memberitakan isu lingkungan khususnya seputar eksplorasi migas di Madura masih sebatas deskripsi peristiwa secara logis dan terjebak dalam penjabaran fakta.
“Pemberitaan selalu saja berkutat tentang konsekuensi langsung dari peristiwa yang diberitakan daripada analisis atas akibat dan komplikasinya dalam jangka panjang,”tuturnya.
Yayan mengatakan masih sedikit jurnalis Radar Madura yang memiliki latar belakang pengetahuan ilmiah yang cukup baik terkait isu lingkungan. Hal tersebut mengakibatkan jurnalis tidak mampu menerjemahkan posisinya di tengah-tengah konflik lingkungan. Akibatnya jurnalis menjadi rentan dari manipulasi oleh kelompok lain.
Dalam pencarian informasi, kata dia, sebagian besar wartawan masih bergantung pada siaran pers atau konferensi pers yang dilakukan humas industri migas. Sehingga berita yang muncul lahir dari produksi pemikiran praktisi PR yang berpihak pada industri migas, bukan dari olah pemikiran wartawan atau diskursus lingkungan. Selain itu mayoritas jurnalis masih cenderung memakai narasumber dari kalangan pejabat pemerintah dan industri migas dalam memperoleh informasi. Dominasi suara dan data dari kalangan tersebut dalam sebuah isu lingkungan yang diangkat telah menjadikan berita kehilangan relevansinya sebagai mode pencerahan publik.
“Radar Madura tidak pernah mengangkat isu eksplorasi migas menjadi editorial atau tajuk rencana. Pendapat, sikap dan konsen editorial yang menjauhkan diri dari diskursus lingkungan menunjukkan betapa lemahnya media massa dihadapan isu-isu konflik lingkungan industri migas,”urai pria yang pernah menjadi jurnalis di sejumlah media massa nasional ini.
Yayan menyebutkan untuk pertarungan antar aktor yang mempengaruhi konstruksi media pada isu migas antara lain konvergensi Radar Madura. Sementara keberagaman cara mengakses isi media terbukti tidak berkorelasi dengan keberagaman sudut pandang obyek berita yang ditampilkan Radar Madura.
Temuan lainnya menunjukkan bahwa Radar Madura tidak pernah memunculkan perbedaan pendapat kiai dalam menyikapi eksplorasi migas di Madura agar tidak menyulut amuk massa kalangan santri dari kiai yang berseberangan pendapat. Redaksi Radar Madura lebih memilih mengangkat kiai kharismatik, kiai sepuh, dan kiai advokatif dibanding dengan kiai politik dalam kasus isu eksplorasi migas. Selain alasan masaa pendukung kiai sepuh lebih banyak, jug akarena suara mayoritas bersama warga yang muncul kepermukaan adalah menolak adanya ekslporasi migas di Madura.
Yayan juga menemukan adanya penggunaan media sosial oleh sebagian jurnalis Radar Madura untuk menyuarakan keberpihakann nya pada suara mayoritas warga yang terdampak eksplorasi migas. Hal itu dilakukan karena ketertutupan media mainstream yang tidka nmemberikan ruang kebebasan wartwan dalam menulis dan menginterprestasi secara kritis berbagai isu migas Madura.
“Melihat fenomena ini menjadi sangat berpotensi untuk mengembangkan jurnalisme warga. Kekritisan warga terhadap kondisi lingkungannya diharapkan bisa mengubah relasi kuasa antara warga, industri migas, pemerintah, dan media menjadi lebih setara,” katanya. (Humas UGM/Ika)