Pasokan jeruk sebagai bahan baku industri dari kawasan Asia, Afrika dan Amerika menghadapi permasalahan serius sejak diidentifikasi muncul dan meluasnya penyakit Huanglongbing (HLB) di sentra perkebunan jeruk di dunia. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri yang hidup dan perkembangannya terbatas pada jaringan floem tanaman, Candidatus liberibacter asiaticus (proteobacteria).
Sejauh ini sudah ditemukan tiga spesies, yaitu Candidatus Liberibacter africanus (CLaf), Candidatus Liberibacter asiaticus (CLas) dan Candidatus Liberibacter americanus (CLam). Terjadinya penyebaran penyakit HLB meluas diberbagai daerah karena perbanyakan vegetatif tanaman dan melalui perantaraan serangga vektor (Diaphorina citri Kuwayama (Hemiptera: Psyllidae)).
“Di kepulauan Indonesia, penyebaran penyakit dan vektornya memperlihatkan adanya hubungan yang erat dengan sebaran inang, baik utama maupun alternatif, vektor dan iklim yang dikendalikan oleh kondisi geografis seperti posisi lintang, bujur dan ketinggian,” ujar Rachmad Gunadi, di Auditorium Prof. Dr. Ir. Harjono Danoesastro Fakultas Pertanian UGM, Sabtu (14/3) saat menjalani ujian terbuka Program Doktor Ilmu Pertanian.
Dikatakan Rachmad Gunadi, keragaman iklim baik antar waktu maupun antar ruang dapat mengendalikan keberadaan penyakit, kelimpahan populasi vektor yang pada gilirannya akan menentukan intensitas penyakitnya. Penyebaran melalui serangga, katanya, dianggap paling penting untuk diungkap karena lebih kompleks dalam penangannya dan membutuhkan strategi pengendalian yang lebih terorganisasi.
Dari desertasi “Pendekatan Agroklimatologi dalam Pengelolaan Penyakit Huanglongbing pada Tanaman Jeruk di Jawa”, banyak catatan penting yang perlu diungkap bahwa iklim memiliki kaitan erat dengan pertumbuhan tanaman jeruk dan dinamika populasi D. citri. Meski begitu, anasir iklim tidak bekerja secara individual melainkan secara simultan membentuk sebuah kondisi iklim yang komprehensif.
“Populasi D. citri berkorelasi positif dengan kelimpahan pucuk yang dipicu oleh tingginya suhu udara, sementara kondisi iklim yang cenderung basah oleh berbagai sebab bersamaan dengan suhu yang rendah menjadi penghambat perkembangan populasi D. citri,” papar Rachmad Gunadi dalam kesimpulannya.
Kesimpulan lainnya, anasir iklim yang berperanan dalam mendorong peningkatan populasi D. citri adalah suhu udara yang tinggi (dataran rendah), sementara yang berperan dalam penekanan populasi adalah efek basah yang merupakan resultan dari kelembaban udara yang tinggi, durasi kebasahan daun yang panjang dan curah hujan yang tinggi. “Model matematika dapat dipergunakan untuk membuat sistem prediksi perkembangan penyakit HLB melalui dinamika populasi seranga vektornya (D. citri) yang merupakan fungsi langsung dari anasir mikroklimat dan tidak langsung melalui pengaruh anasir mikroklimat terhadap fenologi tanaman jeruk yang pada gilirannya akan memicu dinamika populasi D. citri yang menentukan transmisi penyakit HLB,” ungkapnya dosen Fakultas Pertanian UGM menyimpulkan. (Humas UGM/ Agung)