Sistem desentralisasi memberikan kewenangan bagi daerah untuk memungut pajak daerahnya sendiri. Pelaksanaannya diskresi di bidang penerimaan daerah tidak serta membuat daerah dapat mengontrol instrumen pajak lokal, karena penentuan bisnis dan tarif pajak masih dipegang oleh pemerintah pusat. Daerah hanya dapat menetapkan tarif pajak di kisaran batas minimal dan maksimal yang ditentukan oleh pemerintah pusat.
Selain itu perubahan sistem open-list menjadi closed-list berpotensi menyebabkan hilangnya penerimaan daerah dari pajak dan retribusi. Disaat yang bersamaan, daerah diwajibkan menjalankan program pemerintah pusat di daerah.
“Disinilah terdapat sisi lemah rule of the game antara pusat dan daerah di saat menjalankan kewajiban pusat, namun sebagian kewenangannya masih dibatasi,” kata RY. Kun Haribowo P, S.E., M.Si dari Kementerian Keuangan saat menjalani ujian terbuka Program Doktor di Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Rabu (18/3).
Dikatakan Kun Haribowo, pengeluaran pemerintah pusat dalam bentuk dana transfer ke daerah yang didominasi oleh dana perimbangan mencapai angka yang cukup tinggi, yang pada APBN 2013 direncanakan sebesar 518,9 triliun rupiah atau hampir setengah nilai APBN. Transfer dana ke daerah dengan disertai pemberian diskresi di bidang pajak ini diharapkan dapat meningkatkan upaya pajak daerah dan mengurangi beban pemerintah pusat.
“Namun, aliran dana yang besar serta pemberian diskresi tanpa disertai upaya pengawasan ketat, tentu berpeluang menimbulkan informasi yang tidak simetris antara pusat dan daerah, dan bisa-bisa membawa pada kondisi bounded rationality, opportunistic behavior, dan ketidakpastian (uncertainty),” katanya.
Kondisi ini, menurut Kun Haribowo, meningkatkan peluang munculnya moral hazard, yaitu kondisi hidden action yang berpotensi membuat outcome pemerintah pusat tidak efisien. Kondisi ini dapat pula menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan mendorong inefisiensi perekonomian.
“Pemberian dana perimbangan ke daerah yang disertai diskresi di bidang pajak dengan tujuan meningkatkan upaya pajak daerah dapat saja tidak tercapai, karena pada kenyataannya pemerintah daerah masih lemah dalam hal local taxing power“, tutur pria kelahiran Kulon Progo, 28 Februari 1971 saat mempertahankan desertasi “Esai Tentang Penerimaan dan Pengeluaran Pemerintah Daerah: Aplikasi Model Prinsipal-Agen”.
Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan lemahnya upaya pemerintah daerah dalam mengoleksi pajak daerah maka perlu adanya redesain formulasi dana perimbangan. Formulasi dana perimbangan diharapkan perlu mempertimbangkan mekanisme insentif dan punishment yang mengaitkan indikator outcome principal.
Komponen outcome pemerintah pusat dapat di-proxy dengan variabel upaya koleksi pajak daerah (sisi penerimaan) dan hasil capaian SPM oleh daerah (sisi pengeluaran). Dengan memasukkan variabel outcome, maka upaya koleksi pajak daerah dan capaian SPM ke dalam formulasi dana transfer perimbangan berarti telah memastikan adanya kepentingan pusat di dalam penggunaan dana tersebut di daerah.
“Pencapaian outcome pemerintah pusat yang tinggi ditandai dengan semakin berkurangnya ketergantungan fiskal pemerintah daerah kepada pusat dan semakin baiknya pelayanan publik yang diberikan pemerintah daerah,” tutur Kun Haribowo yang dinyatakan lulus sebagai doktor ke-2516 UGM dan doktor ke-178 yang diluluskan FEB UGM. (Humas UGM/ Agung)