Kerusakan perairan sungai di Indonesia terjadi karena tekanan penggunaan yang berlebih sementara pengelolaan sungai dilakukan secara parsial dan sektoral. Lemahnya integrasi pengelolaan sungai serta fragmentasi koordinasi antarlembaga dapat mengancam kelestarian ekosistem sungai. Kepunahan ikan sidat di Kali Progo, kematian ribuan ikan di Kali Surabaya pada bulan November 2013, di Krueng Teunom pada bulan Agustus 2014, dan di Sungai Pangkajane pada bulan November 2014 merupakan contoh dampak pengelolaan sungai yang masih parsial tersebut.
“Ini terkadang masih diperparah dengan adanya peraturan di tingkat kebijakan dan pelaksanaan teknis yang tidak selaras,” papar Ir. Sri Puji Saraswati, DIC., M.Sc pada ujian terbuka program doktor Fakultas Teknik UGM, Senin (30/3).
Dalam disertasinya berjudul “Pengembangan Metode Penetapan Status Kesehatan Perairan Sungai di Daerah Tropis Berbasis Ekohidraulik”, Saraswati menambahkan prinsip konservasi oleh para ahli lingkungan cenderung mengarah pada preservasi berlebih sehingga sungai tidak boleh dimanfaatkan untuk keperluan lain. Sementara dari kaca mata pemanfaatan air, pengelola sungai cenderung menggolongkan sungai berdasar peruntukannya, seperti untuk air baku air minum, air irigasi, dan air industri.
“Saat ini lebih komprehensif karena pendekatannya dengan eko-hidraulika yang berprinsip pada vitalisme lingkungan dengan menekankan harmoni antara pemanfaatan untuk kemaslahatan manusia dan menjaga lingkungan lestari,” papar dosen di Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan UGM ini.
Menurut Saraswati untuk mendukung pendekatan ekohidraulik, maka kesehatan sungai harus dipantau secara rutin. Pemantauan perairan sungai umumnya dilakukan dengan mengukur parameter kimia, fisika, dan bakteriologi air sungai. Selain itu, diperlukan indeks kualitas air (IKA) yang komprehensif untuk menggambarkan kesehatan perairan sungai agar pemantauan secara baku dapat dilakukan.
Melalui penelitian selama lebih dari lima tahun di perairan Sungai Gajah Wong, Saraswati berhasil mengembangkan IKAs (indeks kualitas air sungai) yang didasarkan pada sejumlah parameter kualitas air yang relatif sedikit menjadi indeks tunggal kesehatan perairan sungai.
“Dari 34 kualitas air yang dipantau dalam program air bersih, dipilih 18 yang paling lengkap dan sahih datanya,” katanya.
Selain IKAs, peneliti juga mengembangkan indeks biomonitoring ex-situ untuk mengukur tingkat toksisitas air sungai. Analisa ini menggunakan teknik AOD (aquatic organism environmental diagnostic) yang telah diadaptasi untuk diterapkan di Indonesia. Dua metode ini saling melengkapi dalam menentukan kesehatan sungai.
“Melalui IKAs yang komprehensif ini pengendalian air di sumber polusi dan pengelolaan kualitas air sungai bagi kesehatan biota air dapat dilakukan dengan lebih baik,” tegasnya. (Humas UGM/Satria)