YOGYAKARTA – Sasak adalah penduduk asli pulau Lombok. Mereka telah tinggal di pulau Lombok sejak lama dengan hidup berdampingan dengan para pendatang yang berasal dari Jawa, Bali, dan Sulawei. Meski begitu, masyarakat Sasak diketahui mampu bertahan dengan kemandirian kultural yang mereka anut. Dari hasil studi, orang sasak telah mandiri secara religius, sosial, dan kultural. Untuk menjaga keberadaan mentalitas dan ideologi Sasak, mereka membentuk perwangse-dengan jamaq (masyarakat asli) dan sedangkan para pendatang mereka namakan kalangan bangsawan-kawule.
Hal itu disampaikan Mahasiswa Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, Drs. Muhammad Fadjri, MA., dalam ujian terbuka promosi doktor di gedung Margono FIB UGM, Rabu (1/4). Dalam disertasinya yang berjudul “Mentalitas dan Ideology dalam Tradisi Historiografi Sasak Lombok pada Abad XIX-XX”, Fadjri mengatakan masyarakat sasak memperlihatkan mereka selalu bersatu sebagai etnik Sasak dan Islam, namun mereka memiliki cara masing-masing dalam menyikapi persoalan hidup mereka. “Ini semua diperlihatkan sejak orang Sasak menerima pendatang di Lombok pada abad XVII ketika berbenturam dengan Belanda dan Bali Karangasem,” kata dosen Universitas Mataram ini.
Hasil dari penelitian Fadjri, pengislaman pada orang Sasak terjadi karena ada pelarian orang Majapahit dan Sulawesi ke Lombok. Berbeda dengan pemahaman selama ini yang menyebutkan pendatang dari Bali, Sulawesi, Jawa dan Bima mengislamkan masyarakat Sasak. “Mereka telah islam sebelum pendatang itu datang. Dibuktikan dengan keberadaan syahadat Sasak, dialek sasak, kitab Sulut Sasak dan 9 masjid kuno Sasak pada abad XIII-XIV,” katanya
Pemahaman lain yang perlu diluruskan, kata Fadjri adalah bahwa Sasak pernah dijajah oleh Bali-Karangasem. Menurutnya, konstruksi pemahaman itu dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda yang diamini tanpa kritis oleh banyak peneliti. Sedangkan dari hasil studi yang ia lakukan menemukan bahwa penjajahan oleh Bali-Karangasem itu tidak pernah terjadi. Dia beralasan, pemahaman yang diciptakan Belanda itu untuk menyembunyikan kebohongan mereka tentang penyebab dan pihak yang terlibat perang Lombok pada abad XIX. “Itu dibuktikan oleh fakta bahwa perang puputan Bali tidak ada di Lombok,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)