Hingga kini belum ada data insidensi kanker serviks berbasis populasi secara nasional di Indonesia. Data World Health Organization (WHO) pada tahun 2002 memperlihatkan Indonesia memiliki angka insidensi dan mortalitas tertinggi di Asia Tenggara, yaitu sebesar 15.050 per 100.000 penduduk.
Data di RS Kanker “Dharmais” (RSKD) menunjukkan kanker serviks menempati urutan ke-2 kanker terbanyak setelah kanker payudara pada perempuan dari tahun 2003 hingga 2007, dan di Indonesi diperkirakan tiap tahun terdapat 100 penderita baru per 100.000 penduduk. Hal ini berarti dari jumlah 237 juta penduduk, ada sekitar 237.000 penderita kanker baru setiap tahunnya.
Sejalan dengan itu, data empiris juga memperlihatkan kematian akibat kanker dari tahun ke tahun terus meningkat. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menyebut kanker merupakan penyebab kematian nomor 7 (5,7 persen) aetelah stroke, TB, Hipertensi, cedera, perinatal dan DM.
Sementara itu, berdasar data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) tahun 2007, kanker serviks menempati urutan kedua pasien rawat inap terbanyak di seluruh RS di indonesia (11,78%). Sebagian besar penderita datang pada stadium lanjut, yaitu pada stadium IIB sampai stadium IV yang memerlukan fasilitas pengobatan khusus seperti radiasi.
“Disamping mahal, pengobatan kanker serviks stadium lanjut memberikan hasil harapan hidup 5 tahun yang rendah”, kata dr. Sri Hartini, Sp.PK(K)., MARS saat menjalani ujian terbuka untuk memperoleh Derajat Doktor Dalam Bidang Ilmu Kedokteran dan Kesehatan, di Fakultas Kedokteran UGM, Rabu (1/4).
Karena itu, menurut Sri Hartini, mengingat beratnya akibat yang ditimbulkan oleh kanker serviks dipandang dari segi harapan hidup, lamanya penderitaan serta tingginya biaya pengobatan, maka segala aspek yang berkaitan dengan penyakit tersebut perlu untuk dipelajari dan diteliti. Secara global telah diketahui jenis tipe HR-HPV diberbagai belahan dunia antara lain di Asia Selatan ditemukan terutama tipe HPV 16 dan HPV 18, namun hingga kini belum banyak dilakukan penelitian untuk mengetahui jenis tipe HR_HPV yang menginfeksi dan menimbulkan kanker serviks di Indonesia, khususnya di RSKD.
“Rumah Sakit ini mengemban tugas dari pemerintah sebagai pusat Kanker Nasional seyogyanya RSKD dapat menjadi pusat informasi kanker melalui kegiatan penelitian, termasuk informasi tentang dominasi tipe HR-HPV pada penderita kanker serviks. Informasi ini tentu sangat bermanfaat untuk menjawab pertanyaan apakah keberadaan vaksin kankers serviks yang telah beredar di pasaran dan mulai banyak diminati masyarakat sesuai dengan tipe HR_HPV di Indonesia mengingat vaksin tersebut mengandung antigen tipe HR_HPV tertentu”, ujar staf medis Patologi Klinik RS Kanker Dharmais, yang juga dosen Program Magister Biomedik Kehususan Onkologi FK UI.
Dikatakan Sri Hartini, hingga kini belum tersedia informasi ekspresi TLR7 dan TLR9 pada infeksi HR_HPV dan hubungannya dengan kanker serviks di Indonesia sehingga perlu dilakukan penelitian tentang hal tersebut. Pengetahuan tentang peran TLR dalam respon imun “melahirkan” produk TLR agonist yang sebagian besar dalam taraf uji klinik.
“Informasi tentang ekspresi TLR 7 dan TLR 9 pada infeksi HR_HPV dapat merupakan data dasar penggunaan TLR agonist terkait. Oleh karena itu, penting diketahui bagaimana ekspresi TLR7 dan TLR9 pada infeksi HR-HPV dan hubungannya dengan kanker serviks di Indonesia melalui kegiatan penelitian”, papar perempuan kelahiran Purwokerto 15 Juni 1947 saat mempertahankan desertasi Hubungan Lesi Pra Kanker Serviks High Risk-human Papillomavirus Positif dengan Kanker Serviks Terkait Ekspresi mRNA Toll-Like Receptor 7 dan mRNS Toll-like Receptor 9. (Humas UGM/ Agung)