Ideologi dan pemikiran Menteri Agama cukup berpengaruh dalam kehidupan beragama di Indonesia. Sayangnya, sejak reformasi digulirkan hingga 2011 ideologi Menteri Agama lebih banyak mengutamakan kepada kepentingan kelompok yang berada pada arus utama (mainstream). Persoalan inilah yang harus segera dibenahi dan dievaluasi agar tidak lagi terjadi konflik maupun kesenjangan antar umat beragama.
“Ideologi negara jelas netral dan semua pihak dilindungi. Tapi kalau Menteri Agama selalu mengutamakan yang berada pada arus utama (mainstream),”tutur Mega Hidayati dalam ujian terbuka program doktor Indonesia Consortium for Religious Studies (ICRS) UGM, Senin (6/4) di Sekolah Pascasarjana UGM.
Pada kesempatan itu Mega mempertahankan disertasinya berjudul “Dealing With Religious Pluralism in Indonesia: Critical Discourse Analysis of the Ministers of Religious Affairs Speeches on Religious Harmony in the Reformation Era (1998-2011)”.
Mega menambahkan penelitiannya tersebut mencermati pidato-pidato Menteri Agama mengenai harmonisasi keberagaman dalam kurun waktu 1998-2011. Dengan menganalisis wacana bahasa yang digunakan dalam pidato-pidato tersebut terungkap pula hubungan antar masyarakat maupun hubungan antar agama.
“Jika kondisi ini masih dilakukan maka masih akan terjadi kasus-kasus yang terjadi pada kelompok minoritas maupun yang termarjinalkan,” kata mahasiswi angkatan 2007 itu.
Dalam analisisnya, Mega memberikan gambaran bahwa para Menteri Agama menggunakan media bahasa untuk menjelaskan mengenai pandangan, evaluasi, usaha, peran dan otoritasnya pada isu seputar keharmonisa agama di tengah masyarakat. Bahasa yang digunakan kemudian menunjukkan ideologi para Menteri Agama tersebut yang nantinya diartikulasikan dalam isu konflik, dialog antaragama, dan kebebasan beragama sebagaimana relasi kekuasaan antara pemerintah dan masyarakat sipil seluruhnya, pemerintah dengan kelompok mainstream, dan juga pemerintah dengan kelompok minoritas.
“Hasil analisis menunjukkan bahwa retorika para Menteri Agama saat itu berkaitan erat dengan tuntutan dan harapan dari masyarakat umum,” urai Mega.
Di akhir paparan, Mega berkesimpulan bahwa para Menteri Agama era 1998-2011 telah meletakkan fondasi mengenai konsep keharmonisan agama, konflik dan kebebasan. Mereka juga telah membuat beberapa usaha untuk menjaga dan menciptakan keharmonisan agama di tengah masyarakat seperti dialog antaragama, penyelesaian konflik, dan isu seputar regulasi.
“Namun, ide dan usaha yang sudah dicetuskan oleh para Menteri Agama tersebut masih memiliki persoalan khususnya berkaitan dengan proses implementasi di tengah masyarakat, penerimaan, respek, keadilan, menjaga perbedaan dan jaminan kebebasan dan kesetaraan yang menjadi dasar dan tuntutan dari keharmonisan beragama. Ini yang harus dievaluasi,” tutur Mega. (Humas UGM/Satria AN)