Pendidikan jasmani dalam segenap definisinya merupakan bagian integral dari pendidikan keseluruhan. Meski begitu, dalam realitas pendidikan jasmani seringkali terlempar dalam perkembangan wacana keilmuan Indonesia. Akibatnya pendidikan jasmani hanya dianggap mata pelajaran sekunder.
“Dari berbagai sumber jika coba dirunut, baik berupa hasil penelitian, jurnal maupun buku-buku referensi ataupun buku ajar yang ada, memang seolah menempatkan pendidikan jasmani pada ranah relatif sempit yaitu pada wilayah biologis dan mekanika fisik belaka. Sementara kajian-kajian pada ruang keilmuan sendiri relatif sulit untuk ditemukan dalam konteks ke-Indonesiaan,” ujar Muhammad Hamid Anwar, M.Phil, di ruang Notonagoro Fakultas Filsafat UGM, Rabu (8/4) saat menempuh ujian terbuka program doktor.
Menurut Hamid Anwar, dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas negeri Yogyakarta, kenyataan seperti itu tentu bukan kebetulan belaka. Sebab menyitir apa yang diungkap Foucault, bahwasanya segala bentuk eksistensi yang hadir tidak pernah bisa dilepaskan dari berbagai pengaruh kuasa yang mengitarinya. Demikian pula dengan pendidikan jasmani di Indonesia.
“Tentu keberadaan pendidikan jasmani Indonesia dengan segala kurang dan lebihnya merupakan bentukkan relasi nalar-nalar kuasa yang berkembang setiap jaman. Oleh karena itu, penelitian ini ingin menyingkap relasi-relasi tersebut untuk dipaparkan dengan meminjam Arkeo-genealogi Michel Foucault dengan harapan bia menjadi salah satu sandaran reflektif bagi pengembangan keilmuan pendidikan jasmani indonesia kedepan”, tuturnya saat mempertahankan desertasi “Wacana Pendidikan Jasmani di Indonesia Dalam Perspektif Arkeo-Genealogi Michel Foucaull: Implikasinya Dalam Konteks Kekinian” dengan didampingi promotor Prof. Dr. Joko Siswanto dan ko-promotor Prof. Dr. Achmad Dardiri, M.Hum.
Lebih lanjut, Hamid Anwar menjelaskan metode ‘arkeo-genealogi’ Foucault merupakan sebuah metode analisis sejarah ‘dinasti-dinasti pengetahuan’ dan ‘relasi-kuasa-pengetahuan’. Ia sebuah pisau analisis dalam menyajikan ranah kemunculan wacana, lembaga otoritatif yang berperan menentukan ukuran kebenaran wacana, dan kaitan wacana itu dengan wacana lainnya, serta relasi antara ‘kuasa-pengetahuan’ yang lahir dan hidup di locus dan tempus tertentu.
Karenanya, wacana pendidikan jasmani ditinjau arkeo-genealogi dapat dikelompokkan dalam tiga periode, yakni periode pra-kemerdekaan, periode Orde Baru-Orde Lama, dan orde Reformasi. Setiap periode memiliki rezim kuasanya sendiri, yaitu orientalisme, fungsionalisme, pragmatisme, positivism, feminisme dan kapitalisme-liberalisme.
“Beragam relasi kuasa-kuasa nyatanya lebih banyak berimplikasi negatif terhadap praktik pendidikan jasmani pada konteks kekinian di Indonesia, semisal misinterpretasi terhadap hakikat pendidikan jasmani, marjinalisasi pendidikan jasmani dan seterusnya. Oleh karena itu, saya berharap desertasi ini bisa menjadi salah satu dasar untuk melakukan refleksi lebih lanjut dengan kajian lebih mendasar dan komprehensif, sehingga secara filosofis keilmuan pendidikan jasmani akan memiliki struktur yang lebih kuat”, jelasnya. (Humas UGM/ Agung)