Perubahan tata guna lahan khususnya di kawasan resapan air tanah, pembangunan permukiman dan industri serta pemompaan air tanah yang tidak terkendali menyebabkan rusaknya potensi persediaan air tanah. Hal ini menyebabkan tanah kehilangan daya resap sehingga air hujan tidak dapat terinfiltrasi, tetapi mengalir bebas di permukaan tanah menuju selokan atau sungai yang kemudian mengalir ke laut.
“Kalau kondisi ini berlangsung lama dapat menyebabkan terganggunya sistem daur hidrologi berakibat menurunnya kualitas dan kuantitas air tanah,”papar Nur Qudus pada ujian terbuka doktor Program Studi Ilmu Lingkungan Sekolah Pascasarjana UGM, Selasa (14/4).
Dalam disertasinya berjudul “Penerapan Sistem Resapan Air Hujan di Kawasan Permukiman Kota Semarang”, Nur Qudus menjelaskan pertumbuhan kota yang antara lain ditunjukkan oleh terjadinya peningkatan jumlah dan kepadatan penduduk, tidak seimbang dengan ketersediaan lahan yang ada. Konversi dari lahan terbuka hijau menjadi lahan permukiman dan industri di Kota Semarang setiap tahun terus terjadi. Data BPS Kota Semarang tahun 2012 menunjukkan bahwa penggunaan lahan untuk permukiman menempati urutan pertama sebesar 33,12% atau sekitar 12.355,96 Ha dari luas lahan Kota Semarang seluas 37.360 Ha.
“Kepadatan dan perluasan kawasan permukiman mengakibatkan penurunan kualitas kenyamanan hidup baik di perkotaan maupun pedesaan. Berkurangnya kawasan resapan bisa menyebabkan banjir, longsor, erosi dan sedimentasi,” urai dosen di Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang itu.
Menurut Qudus upaya perlindungan dan pelestarian sumberdaya air khususnya air tanah dapat dilakukan dengan menggunakan sistem drainase air hujan yang berwawasan lingkungan, yaitu dengan rekayasa teknis resapan air hujan. Rekayasa teknis resapan air hujan berfungsi untuk menampung air hujan yang jatuh di atap bangunan maupun yang sudah menjadi limpasan selanjutnya diresapkan ke dalam tanah. “Rekayasa sistem resapan air hujan juga untuk mengurangi debit aliran permukaan dan menambah pengimbuhan air tanah yang dapat dilakukan dengan pembuatan sistem resapan,”katanya.
Hasil penelitian yang telah dilakukannya di 88 lokasi permukiman di Kota Semarang yang tersebar di 16 kecamatan menunjukkan bahwa 30 lokasi memenuhi syarat menggunakan sistem resapan vertikal dengan sumur resapan dan 3 (tiga) lokasi memenuhi syarat menggunakan sistem resapan horizontal dengan parit resapan.
Hasil penelitian tingkat pengetahuan dan sikap masyarakat tentang sistem resapan air hujan di Kota Semarang menunjukkan bahwa masyarakat telah memiliki pengetahuan yang cukup tentang sistem resapan air hujan dan memiliki sikap yang sangat baik untuk menerapkan dalam kehidupan masyarakat.
“Ke depan perlu sosialisasi kepada masyarakat tentang beberapa daerah yang tidak layak sebagai resapan. Hal ini sebagai antisipasi agar masyarakat tidak melakukan peresapan air di daerah itu karena memungkinkan longsor,” pungkas Qudus. (Humas UGM/Satria)