Terjadinya erupsi Gunung Merapi berdampak pada penurunan biaya produksi dan produksi tanaman pangan serta hortikultura. Hal ini berdampak terhadap penurunan pendapatan. Selain itu, erupsi Merapi berpengaruh terhadap pendapatan usaha tani tanaman pangan dan hortikultura temporer/1 musim tanam saja, setelah itu recovery cepat kembali.
“Statistik menunjukkan perbedaan nyata antara pendapatan petani sebelum, saat dan setelah erupsi. Berdasarkan komparasi permusim tanam secara overall juga menunjukkan perbedaan nyata,” ujar Sugeng Widodo pada ujian terbuka program doktor Program Pascasarjana Fakultas Pertanian UGM, Selasa (21/4).
Pada kesempatan itu Sugeng mempertahankan disertasinya berjudul “Dampak Ekonomi Erupsi Merapi terhadap Sektor Pertanian dan Lingkungan TNGM di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah”.
Sugeng menambahkan pengaruh erupsi terhadap sektor perkebunan dan tanaman hutan juga menyebabkan penurunan nilai produksi dan pendapatan. Sementara itu berdasarkan jenis komoditas perkebunan, tanaman mahoni, cengkeh, dan alpukat mengalami penurunan dibandingkan komoditi perkebunan lainnya.
“Secara statistik dengan menggunakan uji t, erupsi Merapi berpengaruh terhadap pendapatan tanaman keras dan perkebunan. Belum lagi kalau kita bicara di sektor usaha sapi perah,” urai Peneliti Ekonomi Pertanian dan Kebijakan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Yogyakarta itu.
Dalam pandangan Sugeng hasil estimasi kerugian ekonomi merupakan informasi penting dalam proses penentuan kebijakan untuk mengatasi masalah erupsi. Penelitian ini juga penting dalam rangka melakukan program pemulihan kembali pasca erupsi mengingat erupsi yang sama juga sangat dimungkinkan terjadi dimasa yang akan datang.
Pengalaman dari seringnya erupsi Merapi diharapkan pemerintah segera mendelineasi kerusakan lahan sawah, lahan kering dan arel pertanaman; perlunya perbaikan infrastruktur usahatani dan irigasi, penyediaan skim kredit berbunga rendah/tanpa agunan khususnya dalam pengelolaan usahatani tanaman pangan dan hortikultura dan peternakan dan penataan kelembagaan petani. Kemudian, cara merubah perilaku petani ‘terencana’ dalam mengatasi bencana menjadi pembelajaran/edukasi pengetahuan tentang isyarat dini gejala bencana dan pemanfaatan kearifan lokal yang dimiliki petani.
“Asuransi dan talangan dana berbunga rendah diperlukan karena usaha tani dan usaha ternak sapi perah di Merapi berisiko besar terhadap erupsi yang sering terjadi pada Gunung Merapi,” tutur Sugeng.
Seperti diketahui, erupsi Merapi telah menyebabkan terjadinya kerusakan pada sektor pertanian pada kegagalan panen sayur, tanaman pangan, perkebunan, peternakan, lingkungan sosial dan sistem produksi pertanian serta kerusakan pada kawasan Taman Nasional Gunung Merapi di DIY dan Jateng. Erupsi yang terjadi tahun 2010 memiliki tingkat kerusakan cukup besar di atas 80% baik di sektor pertanian, perkebunan maupun lingkungan usaha tani. (Humas UGM/Satria)