Dosen Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta, Drs. Hadjar Pamadhi, M.A., meraih gelar doktor dari Fakultas Filsafat UGM, Jum’at (24/4) usai menjalani ujian terbuka promosi doktor. Pria kelahiran Yogyakarta, 60 tahun silam ini berhasil mempertahankan disertasi yang mengkaji dimensi estetik seni rupa publik di Yogyakarta dalam relevansinya bagi pengembangan pendidikan seni di Indonesia.
Dihadapan tim penguji, Hadjar mengatakan bahwa seni rupa publik tidak menyekat medium dan gaya yang dipengaruhi oleh filsafat kontemporer dan posmodernisme. Ditandai dengan kebebasan mencipta, mengolah bentuk, medium seperti lukis, grafis, patung, musik dan tari. Misalnya dalam wayang dekonstruksi karya Heri Dono yang mendasarkan proporsi golden section dengan realis atau naturalis. Proporsi wayang sesuai pakem (kanon) seperti proporsi tubuh manusia secara realistik. Sedangkan pemikiran dekonstruksi bentuk wayang oleh Heri Dono terletak pada usaha melakukan penolakan proporsi metafisik bentuk wayang pakem seperti mengubah parodial bentuk ksatria menjadi Kstaria Kelelawar (Batman). “Gerakan ini menunjukkan karakteristik estetika urban Yogyakarta yaitu apropriasi terhadap seni tradisi dan prinsip modernisme pada penciptaan pada sisi fisik atau bentukan luar,”katanya.
Konteks perkembangan ideologi, apropriasi ide kerakyatan, lanjutnya, masih dipertahankan sebagai platfrom penciptaan. Posmodernisme mendorong bebas menggunakan mendium dan menjadikan estetika sebagai alat reprentasi ideologi dan sejarah sosial. Sehingga hal tersebut memberikan kemungkinan pembelajaran ekspresi bebas kepada anak.
Sementara hasil penelitian Hadjar yang lain memperlihatkan bahwa dimensi estetik yang terkandung dalam seni rupa publik berupa nilai sosial yang dikemas dalam abstraksi bentuk, abstraksi fisik, abstraksi metafisik bersifat dekonstruktif. Dalam dimensi proses estetika hadir saat penikmat dan perupa memberikan arti pada sebuah karya. Sedangkan dimensi pendidikan estetika seni rupa publik terletak pada kemampuan transfer nilai dan tarnsfer pelatihan perupa seni rupa publik yang menghasilkan habitus seni dan pendidikan karakter.
Terkait estetika seni rupa dalam pengembangan pendidikan seni di Indonesia, Hadjar mengatakan estetika radikal atau paralogi memberikan kesempatan anak memberi nilai dan melatih memahamai arti, bentuk, dan nilai sebuah objek. Pergeseran nilai estetika radikal dapat dijadikan model untuk mengajarkan berseni dan mengapresiasi karya seni. Lalu konsep paralogisme untuk memahami pergeseran subjek estetika secara histori dan radikal estetika bawah dapat dikemas untuk pendidikan rasa. (Humas UGM/Ika)