Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebutkan, Indonesia tengah alami kenaikan suhu yang luar biasa di tahun ini. Kemarau panjang melanda, hingga menyebabkan kekeringan air di beberapa daerah. Tak hanya Indonesia, negara-negara seperti Italia, Maroko, Amerika, dan Yunani juga turut merasakan suhu mendidih bumi. Fenomena ini merupakan dampak dari perubahan iklim yang diakibatkan akumulasi emisi karbon di atmosfer. Berbagai sektor sedang berlomba-lomba mencari alternatif untuk mengurangi produksi emisi karbon, tak terkecuali sektor perumahan.
“Kita ketahui bersama bahwa dampak pemanasan global yang memicu perubahan iklim, anomali cuaca, dan cuaca ekstrem ini disebabkan meningkatnya emisi karbon. Pada konferensi di Glassgow COP26 tahun 2021, Bapak Jokowi juga menyampaikan, target Indonesia itu mencapai net zero emission selambatnya pada tahun 2060. Dan pada tanggal 23 September 2022, Indonesia juga menyampaikan perubahan target kepada sekretariat UNFCCC, yaitu peningkatan target penurunan emisi dari semula 29% menjadi 31,89% dengan usaha sendiri. Dan dari 41% menjadi 43,20% dengan bantuan internasional. Dengan demikian, perubahan target tersebut merupakan komitmen Indonesia yang diratifikasi kebijakan internasional,” ucap Ir. Diana Kusumastuti, M.T., Direktur Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) RI dalam seminar bertajuk “Best Practice of Design and Construction of High-Rise Timber Buldings) pada Sabtu (14/10).
Salah satu penyumbang emisi karbon terbesar adalah bangunan atau konstruksi, yakni sebanyak 30% dari total emisi karbon dunia. Menyadari urgensi tersebut, Fakultas Teknik, bersama Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada mengusung inovasi pembangunan yang berbahan dasar kayu yang terbukti dapat menyerap karbon, alih-alih melepas gas rumah kaca. “Besi dan semen ini menyumbangkan emisi yang terbesar. Sementara, semua bangunan gedung di Indonesia ini menggunakan konstruksi besi dan semen. Pemanfaatan bahan bangunan yang renewable dengan emisi karbon yang rendah ini perlu didorong. Bahan kayu ini bersifat renewable dan memiliki periode tumbuh yang pendek, 5-10 tahun. Kelebihan material kayu ini bahkan bisa diterapkan pada bangunan gedung,” tambah Diana.
Pemakaian material kayu sebagai bahan dasar umum bangunan telah lama ditinggalkan, akibat minimnya reboisasi hutan dan tren bangunan berbahan semen. Padahal, bangunan kayu terbukti 40-50% lebih ringan dibanding bangunan beton dan besi. Sifat kayu sendiri memiliki elastisitas hingga titik tertentu, di mana ia akan bersifat fleksibel jika diberi tekanan. Berbeda dengan semen dan beton yang tidak memiliki elastisitas. Kelebihan ini membuat bangunan kayu cenderung lebih tahan terhadap bencana gempa. Tak hanya itu, gedung tinggi yang berbahan dasar kayu bahkan bisa menyerap hingga 3.100 ton karbon. Sebaliknya, bangunan beton justru mengeluarkan sekitar 1.200 ton karbon.
Meskipun begitu, inovasi penggunaan kembali kayu sebagai bahan bangunan perlu diiringi dengan strategi berkelanjutan. “Kita pernah mengalami deforestasi yang berlebihan, sehingga seolah-olah menggunakan kayu itu merusak hutan. Padahal sebenarnya, kayu itu kan produk yang renewable, asal kita menanamnya. Kadang kita panen lupa menanam. Kalau orientasi pasarnya jelas, orang itu mau menanam. Kita punya hutan produksi terbatas itu 2,8 hektar, hutan produksi 29,33 hektar, kemudian hutan produksi yang bisa dikonversi itu 12,79 hektar. Dan itu kalau kita lihat di indonesia ada rekomendasi untuk hutan produksi, artinya kalau kita menggunakan kayu, area yang dicadangkan untuk produksi kayu itu cukup tinggi,” jelas Ir. Tomy Listyanto, S.Hut., M.Env.Sc., Pakar Kehutanan UGM.
Jika menilik tujuan pengurangan emisi karbon dunia, maka strategi penggunaan bangunan berbahan dasar kayu dapat menjadi alternatif yang berpotensi besar. Namun untuk saat ini, inovasi tersebut perlu dikaji ulang dari segi kebijakan dan aturan pemerintah agar dapat menerapkan pembangunan berkelanjutan. Produsen bangunan kayu harus tetap memiliki tanggung jawab untuk menanam kembali pohon yang telah ditebang. Kayu yang dipilih sebagai bahan bangunan pun harus memenuhi standar nasional, agar kuat dan aman untuk ditinggali.
“Bagian dari universitas ini adalah melakukan research and development yang dengan kerja sama antara universitas, industri, dan praktisi, akan bisa memanfaatkan hal yang kita punya banyak tapi juga dapat berpikir dengan konsep berkelanjutan. UGM mempunyai satu misi yang disesuaikan dengan kondisi global, yaitu dengan adanya perubahan iklim yang membuat kita berubah akan banyak hal,” ucap Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., Sp.OG., Ph.D. selaku Rektor UGM.
Penulis: Tasya