Faisal Rahman, Protection Associate at United Nations High Commissioner for Refugees Indonesia menyatakan meski telah lama menerima pengungsi dari luar, Aceh hingga saat ini hanya menjadi hunian sementara untuk pengungsi. Mereka yang mengungsi di Aceh ditampung dan tidak boleh kemana-mana.
Para pengungsi akibat konflik inipun hanya tinggal di penampungan sementara sampai menemukan solusi berikutnya, dan dipindahkan ke penampungan-penampungan kota lain. Karena itu, penanganan pengungsi di Aceh hingga kini sifatnya hanya emergency.
“Tidak pernah ada pengungsi yang kemudian stay di Aceh. Juga tidak ada pengungsi yang berbaur dengan masyarakat Aceh. Mereka tinggal paling lama 1 tahun, dan saya melihat selama masih ada pergerakan dari luar, ribuan pengungsi diantaranya dari Rohingnya ini akan ada terus melakukan pendaratan mengungsi di Aceh,” katanya Rabu (27/3) pada webinar bertema Kompleksitas Penanganan Pengungsi dan Pencari Suaka di Indonesia: Sebuah Pembelajaran dari Aceh dan Bogor.
Aceh memang sudah lama dikenal sebagai daerah transit yang dilewati, dan tercatat sejak tahun 2009 sudah ada pengungsi di Sabang yang kemudian disusul gelombang pengungsi berikutnya di setiap tahunnya. Tercatat jumlah pengungsi paling besar di tahun 2015, dan di tahun 2023 mencapai jumlah yang hampir sama besarnya.
Pengungsi di Aceh pada tahun 2015 tercatat mencapai hampir 1.700, dan jumlah ini mendapat perhatian sangat besar sekali dari banyak lembaga. Pemerintah Daerah Aceh pun merespons sangat baik pada saat itu sangat baik sekali. Merujuk dari berbagai cerita pihak pemerintah pun menerima pada saat itu.
“Sayang, respons tersebut sangat berkebalikan dengan sekarang sehingga kemudian menuntut lahirnya peraturan untuk memayungi penanganan kasus pengungsi ini,” ucapnya.
Faisal Rahman menjelaskan gelombang pengungsi besar di Aceh terjadi pada tahun 2015 disusul 2016, 2017, 2018 hingga saat ini. Di tahun 2023 kembali dengan kedatangan dalam jumlah besar dengan tambahan baru di Aceh Barat yang sudah mencapai diangka 2.000 an.
Perbedaannya di tahun 2023, pengungsi kali ini sudah mulai mendapat penolakan besar-besaran. Fenomena ini menjadi hal menarik dengan mencari hal-hal yang mendorong terjadinya penolakan dan sebagainya.
“Apa yang menjadi penyebab dan sebagainya. Penolakan yang begitu tinggi menjadikan pemerintah begitu kesulitan menentukan titik penempatan, dan berbicara tentang pengungsi di Indonesia yang sudah ditangani sekitar 12 ribu, termasuk yang di Aceh,” ungkapnya.
Soal fenomena penolakan ini, menurut Faisal sesungguhnya tidak sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan. Bahkan, menurutnya masyarakat Aceh sebenarnya biasa-biasa saja.
Dia mengakui memang ada kelompok-kelompok yang menghembuskan penolakan. Meski begitu jika diprosentase dari 100 maka hanya 20 persen yang menolak dan 80 persen masyarakat lainnya tidak masalah.
“Tetapi sayangnya yang 80 persen menerima ini tidak bersuara, ini yang jadi masalah. Sementara 20 persen terus bersuara menolak, sehingga dari berbagai pemberitaan muncul kekhawatiran yang menyimpulkan Aceh menolak pengungsi,” terangnya.
Iapun menjelaskan sebagian besar pengungsi di Aceh saat ini adalah warga Rohingnya yang murni mencari tempat aman untuk berlindung. Para pengungsi Rohingnya inipun akan terus bergerak mencari tempat yang aman dan mau menampung mereka jika mereka merasa tidak aman.
Senior Research Fellow at Resilience Development Initiative, Akino Midhany Tahir, S.T., M.Eng., Ph.D. mengakui adanya perubahan respons pemerintah daerah menghadapi adanya gelombang pengungsi ke Indonesia. Ada perbedaan respons dari pengalaman Pemerintah Daerah di Aceh menghadapi pengungsi pada saat itu dan saat ini.
Disebutnya, bagaimana pemerintah daerah saat itu sangat ingin membantu tetapi tidak mendapatkan aturan dari pemerintah pusat mengenai penanganan pengungsi yang menjadikan pemerintah daerah tidak bisa segera mengambil keputusan. Dia ibaratkan seperti anak ayam kehilangan induk, di satu sisi dituntut mengambil keputusan namun di sisi lain tidak berani bersikap karena ada birokrasi atau aturan yang harus dikuti oleh pemerintah daerah.
“Satu hal yang saya sangat ingat sekali adalah respons pada saat itu adalah ketika ketemu dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), dan salah seorang yang menjadi koordinator menyatakan sangat ingin sekali membantu tetapi mengaku tidak memiliki referensi. Tidak memiliki referensi dari sisi aturan maupun referensi pengalaman menangani pengungsi sebelumnya,” ujarnya.
Hal itu kemudian membuat penanganan pengungsi di Indonesia, seperti di Aceh hingga saat ini sangat bersifat respons emergency. Merespons, tapi selesai merespons mengalami jeda lagi aktivitasnya, dan baru kemudian di tahun berikutnya merespons kembali seiring kedatangan kembali para pengungsi.
“Respons sesaat dan sangat short term. Ini juga sangat wajar seperti dalam merespons bencana dimana pada masa fase respons banyak yang berminat membantu dan segala macam tetapi begitu memasuki masa recovery sudah mulai turun tensi, dan tak lagi fokus bagaimana untuk penanganan jangka panjang sehingga ada yang terlewatkan untuk kegiatan-kegiatan penanganan pengungsi jangka panjang karenanya penanganan pengungsi di Indonesia sebagian besar hanya emergency response,” jelasnya.
Akino menilai ada perbedaan soal penanganan pengungsi di Aceh dan beberapa daerah lain di Indonesia. Sebagian besar pengungsi di Aceh merupakan pengungsi berasal dari Rohingnya, sedangkan daerah-daerah lain di Indonesia ada yang berasal dari Afganistan, Irak dan lain-lain.
“Mode kedatangan mereka di Indonesia berbeda, kemudian tujuan transit di Indonesia juga berbeda dan tempat yang mereka tuju juga berbeda. Dari sisi pola sudah banyak perbedaan,” paparnya.
Dari penelitian yang pernah ia lakukan di Indonesia maka di luar pengungsi Rohingnya, Akino menyampaikan terdapat 2 tipe pengungsi, yaitu pengungsi yang disupport bantuan oleh lembaga internasional, dan mereka yang hidup secara intra diantara masyarakat Indonesia. Terdapat dinamika bagaimana kedua kelompok ini menjalani kehidupan sehari-hari di pengungsian.
Bagaimana mereka hidup saat masih dibantu dan bagaimana saat mereka dituntut hidup tanpa bantuan. Hal ini yang membedakan secara timeline, dan bagaimana sebagian besar pengungsi hidup dari menerima bantuan dari lembaga internasional, dan sesudah timeline bagaimana mereka harus berusaha hidup independen.
“Bukannya mau mengelompokkan tetapi penelitian ini tentunya bermanfaat untuk memahami dinamika yang berbeda diantara dua kelompok ini. Bagaimana memandang pengungsi ini dari sudut perkotaan. Karena kalau dari sisi politik, sisi legitimasi sudah ada kelompok-kelompok lain yang melakukan kajian. Tetapi bahwa pengungsi itu warga kota, mereka pun berhak atas kota. Berhak atas layanan tanpa memandang legal atau tidak,” jelasnya.
Menyangkut kebijakan atau peraturan yang paling tinggi terkait penanganan pengungsi dari luar negeri maka ada Peraturan Presiden Indonesia Nomor 125 tahun 2016. Meski begitu masih ada alternatif-alternatif peraturan lain yang membuka akses untuk para pengungsi, misalnya Surat Edaran dari Kementerian Pendidikan agar bisa akses sekolah umum dan sebagainya. Terakhir ada Surat Edaran yang menyangkut untuk peningkatan skill atau pelatihan untuk pengugsi agar bisa beraktivitas di Indonesia.
Bagi Akino untuk Perpres tahun 2016 ini implementatif untuk Pemerintah Daerah, termasuk untuk kasus di Aceh. Karena perpres dinilainya sangat relevan untuk penanganan pengungsi di Aceh, misalnya menyangkut soal penyelamatan di laut, dan respons-respons setelah mereka dibawa ke darat dengan berbagai hal apa saja yang bisa dilakukan oleh pihak berwenang.
Tapi untuk konteks pengungsi secara keseluruhan (di luar pengungsi di Aceh), Perpres tahun 2016 ini dinilai masih sangat jauh dari kebutuhan untuk penanganan pengungsi. Karena itu pekerjaan rumah masih banyak untuk aturan atau kebijakan yang menyangkut penanganan pengungsi.
“Tentunya yang dibutuhkan payung lebih besar yang lebih bisa mengadopsi bentuk-bentuk pengungsi, bentuk-bentuk penyelamatan dan bentuk-bentuk respons penanganan yang jangka panjang dibanding aturan spesifik untuk pengungsi tertentu,” imbuhnya.
Webinar Kompleksitas Penanganan Pengungsi dan Pencari Suaka di Indonesia: Sebuah Pembelajaran dari Aceh dan Bogor merupakan kegiatan Sustainable Development Goals Seminar Series #99 yang diselenggarakan Departeman Geografi Pembangunan Fakultas Geografi UGM bekerja sama dengan UNHCR, The UN Refugee Agency dan Resilience Development Initiative.
Penulis: Agung Nugroho
Foto: Distori.id