Persoalan Uang Kuliah Tunggal (UKT) menjadi perbincangan hangat ketika masuk pada topik dunia pendidikan. Skema pinjaman online (pinjol) sebagai solusi untuk pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) telah menimbulkan diskusi yang melibatkan berbagai pandangan di kalangan mahasiswa serta pihak terkait. Merespons hal ini, Center for Digital Society (CfDS) merilis serial CfDS Response yang bertajuk “Benarkah Pinjol Menjadi Solusi Mahalnya UKT Mahasiswa?” pada Kamis (5/4).
Achmed Faiz Yudha Siregar, Research Officer CfDS UGM, mengatakan bahwa ia dan timnya melakukan penelitian dengan metode analisis data digital dan desk study terkait polemik pinjaman online yang mulai muncul di tanggal 25 Januari 2024 oleh akun menfess @itbfess di platform media sosial X yang memunculkan gambar brosur pinjaman online yang sudah bermitra dengan universitas sebagai program untuk mencicil UKT. “Dari 25 Januari 2024, cuitan terkait UKT dan pinjol mulai marak menjelang Februari akhir karena merupakan periode pembayaran UKT saat itu. Kemudian, isu ini meningkat pada tanggal 4 Februari karena ada salah satu tokoh politik yang mengangkat isu ini untuk diangkat menjadi isu publik,” paparnya.
Berdasarkan hasil riset tim CfDS yang beranggotakan Achmed Faiz Yudha Siregar, Arifatus Sholekhah, Alifian Arrazi, Bangkit Adhi Wiguna, dan Falah Muhammad, sebagian besar tweet menunjukkan kritik atau respons negatif terhadap kebijakan pembayaran UKT melalui pinjol. Mereka melihat bahwa kedua respon baik negatif maupun positif, keduanya sama-sama menunjukkan ketidaksetujuan penggunaan pinjol untuk membayar UKT.
“Sejak transformasi PTN menjadi PTN-BH, terjadi tren kenaikan UKT yang signifikan. Pada tahun 1994, 81% dana PTN berasal dari APBN. Namun, setelah menjadi PTN-BH, alokasi dana pemerintah turun drastis menjadi 35%,” ujar Achmed Faiz.
Menurut laporan dari Kompas tahun 2024, data yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa biaya pendidikan tinggi di Indonesia secara konsisten mengalami peningkatan dari tahun 1995 hingga 2022. Kenaikan biaya ini berdampak pada partisipasi yang rendah dari masyarakat miskin dalam pendidikan tinggi, dengan tingkat partisipasi terendah dalam lima tahun terakhir mencapai 12,42%.
Menurut Arifatus Sholekhah, Research Officer CfDS UGM, skema yang diberikan oleh beberapa Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH) belum tepat, seperti contoh skema cicilan internal yang ditawarkan oleh Universitas Indonesia (UI) terbatas hanya untuk mahasiswa program sarjana dan vokasi dan kerja sama platform pinjol Danacita dengan UGM dan ITB yang memiliki bunga 1,60−1,75% per bulan.
Universitas Gadjah Mada sendiri telah menyediakan Beasiswa UGM Tahun 2024 yang dialokasikan dari Sumbangan Solidaritas Pendidikan Unggul (SSPU) tahun 2023 sebagai wujud kepedulian dan komitmen untuk memberikan ruang yang luas bagi generasi muda Indonesia dalam memperoleh pendidikan terbaik di kampus UGM. Komponen beasiswa berupa bantuan pendidikan senilai UKT atau maksimal Rp4.000.000/mahasiswa/semester untuk periode 2 semester.
Tim CfDS juga melakukan studi komparasi pada pinjaman yang diberikan oleh pihak federal dan swasta di Amerika Serikat. Kehadiran pinjaman tersebut belum memperbaiki masalah atas peningkatan biaya pendidikan di sana. Sementara itu, Indonesia masih terdapat ketergantungan pada pinjaman swasta yang disebabkan oleh absennya kebijakan dan skema pinjaman pemerintah. Menurut Achmed, ada kekhawatiran bahwa pinjaman swasta mungkin kurang memberikan perlindungan yang memadai bagi debitur, rentan terhadap kemungkinan gagal bayar, dan memiliki ketentuan yang perlu dipertimbangkan lebih lanjut.
Penulis: Dita
Foto: CfDS UGM