Desa merupakan unit katalisator yang berperan besar dalam pembangunan. Selain merupakan satuan pemerintah yang paling dekat dengan masyarakat, desa memiliki karakter geografis dan peran yang berbeda. Diskusi Publicness Forum oleh Magister Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik UGM mengundang Kalurahan Panggungharjo, Kabupaten Bantul dan Kalurahan Tepus, Kabupaten Gunungkidul sebagai desa yang berhasil mengelola dana dengan maksimal.
Desa Tepus merupakan salah satu dari 144 desa di wilayah Kabupaten Gunungkidul. Memiliki total wilayah sebesar 2.851,22 ha yang dihuni oleh 10.027 penduduk. Sebagian besar mata pencaharian penduduk adalah petani musiman yang aktif pada musim hujan, dan buruh harian lepas. Namun dengan adanya musim kemarau berkepanjangan, masyarakat desa Tepus khususnya petani, tidak mendapatkan penghasilan. Hal ini sempat menjadi persoalan yang dihadapi oleh Desa Tepus. Namun dengan komitmen dan solidaritas kuat warga desa, krisis tersebut dapat ditangani melalui pengembangan potensi desa yang berkelanjutan.
“Daerah kami memiliki 12 pantai yang membentang sepanjang wilayah pantai selatan. Kemudian itu menjadi aset dari desa wisata itu tadi. Lalu potensi yang lain ini adat dan juga tradisi. Masyarakat Desa Tepus itu masih sangat erat memegang tradisi, jadi banyak sekali aktivitas adat yang masih dipertahankan,” ujar Hendro Pratopo, S.IP, Lurah Tepus. Potensi-potensi tersebut berhasil dimanfaatkan dengan baik, sehingga Desa Tepus tercatat telah meraih Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) tahun 2022, dan Kerajinan UMKM Perak yang meraih Juara II ADWI 2022 Kategori Souvenir.
Hendro menjelaskan, kunci pengelolaan dana desa terletak pada orientasi pembangunan dan solidaritas dari warga desa itu sendiri. Konsep pembangunan tidak hanya berkutat pada pembangunan fisik saja, melainkan juga pemberdayaan masyarakat sesuai dengan karakteristik Desa Tepus. Aspek adat, budaya, UMKM, yang dimiliki menjadi aset berharga yang tidak dapat ditemui di daerah manapun. Hal ini juga memiliki nilai jual dalam ranah pariwisata. “Dana desa itu bukti bahwa pemerintah itu ada di desa. Ketika dana desa ini diputus, maka tidak ada komunikasi antara pemerintah desa dan pusat. Intinya, dana desa ini masih sangat dibutuhkan,” tutur Hendro.
Jika Desa Tepus banyak mengembangkan aspek desa pariwisata, Kalurahan Panggungharjo, Kabupaten Bantul memiliki strategi pengelolaan dana desa yang berbeda. Hosni Bimo Wicaksono, Kepala Seksi Pelayanan Kalurahan Panggungharjo menyebutkan, Desa Panggungharjo merupakan desa tanpa TPA. “Sejak tahun 2022 kami sudah memproklamasikan diri bahwa desa kami desa yang tanpa TPA, sehingga sampah selesai di desa, tidak perlu membuang ke TPA. Kami memiliki sistem pemilahan sampah yang setiap harinya menerima sampah dari rumah tangga,” ujar Hosni.
Selain sistem pengelolaan sampah, dana desa juga dialokasikan untuk membangun Kampoeng Mataraman. Objek wisata yang dibangun pada lahan seluas 6 hektare dan bertumpu pada tiga aspek, yaitu sandang, pangan, dan papan. Artinya, Kampoeng Mataraman menawarkan berbagai kuliner, karya-karya UMKM, dan arsitektur yang memanjakan mata. Sejak tahun 2017, Kampoeng Mataraman telah menjadi salah satu pendapatan utama desa yang sangat membantu di tengah krisis lahan dan kekeringan.
Baik Desa Tepus maupun Panggungharjo, keduanya banyak memanfaatkan aset-aset desa yang tak ternilai harganya. Apalagi kalau bukan masyarakat itu sendiri. Setiap daerah memiliki karakteristik, budaya, keterampilan, dan adat yang berbeda. Melalui pengelolaan dana yang baik, seluruh aset tersebut dapat menjadi sumber pendapatan berkelanjutan yang turut memberdayakan masyarakat desa.
Penulis: Tasya