Suistanable Development Goals (SDGs) mencakup berbagai faktor keberlangsungan lingkungan, termasuk ekosistem perairan. Melalui seri webinar SDGs, Departemen Pembangunan Fakultas Geografi UGM membangun diskusi tentang keberlanjutan ekosistem laut dengan tema “Seagrass as Nature-based Solution For Achieving SDGs Targets”. Seri webinar SDGs #90 tersebut dilaksanakan pada Rabu (28/6) dan disiarkan secara daring melalui YouTube.
Faktor biotik memiliki peran strategis untuk beradaptasi dan melakukan mitigasi perubahan iklim. Salah satu indikasi perubahan iklim paling utama adalah meningkatkan senyawa karbon di muka bumi. Area perairan sendiri memiliki peran penting untuk menjaga keseimbangan dalam adaptasi perubahan iklim. Seagrass atau tumbuhan laut dikenal memiliki kemampuan menyerap karbon, mengurangi patogen, dan mengurangi erosi pantai. Sayangnya, jumlah tumbuhan laut semakin menurun sebagai dampak dari proses alam.
“Peran tumbuhan laut dalam mengurangi senyawa karbon ini adalah dengan menyerap dan menyimpan karbon. Kedua hal ini tentu berbeda. Banyak tumbuhan yang bisa menyerap karbon, tapi tidak semua bisa menyimpannya,” ungkap Kepala Pusat Riset Oseanografi, Badan Riset dan Inovasi Nasional, Dr. Udhi Eko Hermawan. Ia mengungkapkan, varietas tumbuhan laut dunia mayoritas dapat ditemukan di Indonesia. Pun dengan perbandingan antara daya serap karbon lamun Indonesia mencapai dua kali lipat lebih tinggi daripada lamun dunia.
Untuk menjaga eksistensi lamun tersebut, upaya konservasi pada lingkungan lamun telah banyak dilakukan. Menurut Udhi, konservasi lamun sendiri telah banyak berkontribusi untuk mengurangi emisi karbon. “Kita lihat konservasi lamun di Maluku Utara ya, di sana besar lokasi konservasi itu hanya 5% dari total keseluruhan habitat lamun. Bisa dibayangkan ya, jika 95% lainnya juga kita konservasikan, berapa besar emisi karbon yang dapat diserap,” tuturnya.
Sejalan dengan pendapar Udhi, Ketua Program Studi Kartografi dan Penginderaan Jauh Fakultas Geografi UGM, Dr. Pramaditya Wicaksono, M.Sc., mengatakan upaya untuk menjaga eksistensi lamun di Indonesia sangatlah penting. “Kita bisa memulai dengan pemetaan. Ini dilakukan untuk mengetahui wilayah konservasi mana saja dan seperti apa yang dibutuhkan oleh ekosistem lamun,” ucap Pramaditya.
Terdapat empat masalah dalam pemetaan habitat lamun di Indonesia, yaitu kurang jelasnya gambaran citra, akurasi gambar citra, akurasi total dan varietas lamun, serta persebaran lamun yang cenderung luas dan bercampur. Kondisi tersebut mengakibatkan hambatan dalam pemetaan lamun secara spesifik. “Terkait akurasi itu sendiri, sebetulnya angka akurasi itu muncul dari citra yang gunakan dengan segala resolusinya, dengan metode dan kesalahn yang mungkin terjadi. Itupun masih ditambah dari kompleksitas lamunnya. Belum lagi kalau bicara kondisi habitat perairannya, apakah jernih atau keruh,” tambah Pramaditya.
Isu ini menjadi dorongan untuk mengembangkan upaya konservasi lamun. Semakin banyak habitat lamun yang terjaga, maka semakin besar juga penyerapan emisi karbon yang dihasilkan. Harapannya, Indonesia mampu mencapai target pembangunan berkelanjutan pada tahun 2030 melalui upaya-upaya berbasis lingkungan.
Penulis: Tasya