Kecerdasan artifisial atau artificial intelligence (AI) sudah menjadi topik yang tak asing lagi dan diperbincangkan di berbagai platform, mulai dari media massa, dunia akademik, hingga percakapan sehari-hari. Kecerdasan artifisial yang dahulu hanya dianggap sebagai imajinasi ilmiah, kini telah menjadi inti dari revolusi teknologi global.
Kecerdasan artifisial, dalam aplikasinya, telah menembus berbagai bidang ilmu dan praktik. Salah satu sektor yang mengalami dampak luar biasa dari revolusi ini adalah dunia kesehatan, khususnya dalam bidang pencitraan medis. Pencitraan medis telah bertransformasi melalui integrasi teknik AI, meningkatkan keakuratan dan efisiensi.
“Bayangkan kita berada di masa depan saat seorang tenaga medis di sebuah desa terpencil di suatu kepulauan terpencil di Indonesia mampu mendeteksi penyakit mata, tumor otak, demam berdarah atau malaria dengan bantuan sebuah perangkat kecil dan kemudian, dalam hitungan detik, mendapatkan rekomendasi hasil diagnosis dari suatu algoritma yang akurat. Hal ini terdengar seperti cerita fiksi ilmiah. Namun, apa yang disebutkan tersebut bukanlah sekedar khayalan,” terang Prof. Ir. Hanung Adi Nugroho, S.T., M.Eng., Ph.D., IPM., SMIEEE.
Hal ini ia sampaikan dalam upacara pengukuhannya sebagai Guru Besar dalam Bidang Teknik Biomedis pada Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Kamis (9/11). Pada kesempatan ini, Hanung menyampaikan pidato pengukuhan berjudul “Integrasi Kecerdasan Artifisial dalam Pencitraan Medis”. Ia berbicara mengenai potensi integrasi AI dalam pencitraan, pengolahan, dan analisis citra medis, serta bagaimana hal tersebut dapat dimanfaatkan untuk peningkatan kualitas hidup masyarakat dan kemajuan bangsa Indonesia.
Hanung menerangkan, kecerdasan artifisial dan teknik biomedis adalah dua bidang yang berkembang pesat dan memiliki potensi revolusioner dalam mentransformasi pelayanan kesehatan. AI kini mampu menganalisis citra medis yang dihasilkan oleh peralatan, seperti sinar-X, computed tomography (CT), magnetic resonance imaging (MRI), ultrasonography (USG), dan fundus camera dengan kecepatan dan akurasi yang mengesankan bahkan seringkali mengidentifikasi pola yang mungkin luput dari pandangan manusia.
Integrasi antara AI dan teknik biomedis, menurutnya, membuka jalan bagi inovasi yang bertanggung jawab dalam pelayanan kesehatan. Sinergi ini berpotensi memperbaiki pencegahan, diagnosis, hingga terapi penyakit.
“Misalnya, AI dapat membantu mendeteksi tumor atau kelainan lainnya yang mungkin sulit dilihat oleh mata manusia. Namun, ada tantangan yang harus dihadapi. Meski potensi penggunaan AI dalam teknik biomedis sangat besar, penerapannya dalam praktik klinis masih terbatas,” paparnya.
Hanung menggaris bawahi bahwa teknologi kecerdasan artifisial menawarkan solusi yang sangat menjanjikan karena memiliki kemampuan belajar dan mempelajari data dalam jumlah dan ukuran yang sangat besar (big data), kemudian menerapkan hasil pembelajarannya untuk menyelesaikan kasus nyata. Namun, Hanung menambahkan, secanggih apapun teknologi yang digunakan terutama dalam rangka menegakkan suatu keputusan atau mengambil kesimpulan, itu semua tetaplah sebuah alat bantu, yang tidak bisa menggantikan Intuisi, rasa, dan pengalaman yang dimiliki oleh manusia.
“Tanpa menggunakan teknologi AI, seorang dokter ahli tetap dapat memeriksa dan menegakkan diagnosis suatu penyakit yang diderita seorang pasien dengan akurat. Namun dengan bantuan teknologi AI, seorang dokter ahli dapat melakukan ini dengan lebih cepat, akurat dan efisien,” pungkasnya.
Penulis: Gloria
Fotografer: Donnie