Konflik tanah telah menjadi masalah menahun yang tak kunjung selesai. Perebutan hak tanah antara perusahaan dengan masyarakat adat kerap terjadi di berbagai daerah Nusantara. Sayangnya, pemerintah belum memiliki perhatian penuh untuk mengembalikan hak-hak masyarakat atas tanah mereka. Mengangkat isu tersebut, WatchDoc Indonesia merilis film terbarunya berjudul “Tanah Moyangku” dalam acara Jamejaya Festival Ajisaka 2024 pada Jumat (1/12) lalu.
Tanah moyangku merupakan film yang memotret berbagai kasus konflik agraria di Indonesia. Utamanya didasarkan pada penelitian Prof. Ward Berenschot dan Prof. Afrizal terkait 150 konflik lahan kelapa sawit antara masyarakat dan korporasi. Secara khusus, film ini menyebutkan kasus perebutan lahan di Kalimantan dan Sumatera. Lahan masyarakat adat tidak diakui sebagai lahan mereka kendati tidak memiliki bukti resmi kepemilikan lahan, atau sertifikat tanah. Kondisi ini memberikan kesempatan pada perusahaan untuk mengambil alih lahan yang tidak tersertifikasi tersebut untuk digunakan sebagai lahan produksi.
Kasus-kasus perebutan lahan ini mayoritas sudah berjalan bertahun-tahun. Masyarakat gencar memperjuangkan hak-haknya di atas kertas, namun ketidakseimbangan kemampuan antara kedua belah pihak menjadikan masyarakat selalu berada di posisi yang dirugikan. Sutradara film, Edy Purwanto dari WatchDoc Indonesia menyebutkan, masyarakat adat sebenarnya memiliki hak atas tanah mereka. Tapi secara de facto, hak-hak tersebut tidak bisa terpenuhi. Tanah nenek moyang yang dijaga secara turun temurun, bahkan sebelum NKRI terbentuk tidak memiliki bukti hukum yang cukup kuat untuk melawan sebuah perusahaan.
“Konflik agraria inikan memang sudah bertahun-tahun. Lahan masyarakat diambil, kemudian masyarakat tidak mendapatkan keuntungan apapun, itulah yang terjadi. Makanya dalam film ini juga disebutkan usaha-usaha masyarakat untuk melawan korporasi. Karena ini tidak seimbang. Korporasi secara pasti dia memiliki tim hukum yang paham akan proses hukum seperti apa, sedangkan masyarakat adat tidak memiliki itu. Bukti-bukti yang mereka bawa ke pengadilan sudah pasti tidak cukup kuat, jadi sejak awal ini tidak seimbang,” ujar Edy. Menurutnya, masyarakat yang seharusnya bisa menjadi penengah agar berpihak ke masyarakat justru banyak membuat regulasi yang membuka kesempatan bagi korporasi untuk memanfaatkan lahan adat.
Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law sejak awal memberikan kemudahan bagi pemodal untuk mengelola lahan-lahan di Indonesia. Segala proses perizinan dipangkas dan dipersingkat, bahkan yang menyangkut tanggung jawab terhadap lingkungan. Meskipun menuai protes dari berbagai pihak, UU ini tetap berjalan hingga sekarang. Edy menambahkan, kondisi masyarakat saat ini telah terdesak, dan mereka masih diharuskan memperjuangkan hak-hak atas tanah mereka. Padahal, tanah tersebut tidak hanya memiliki nilai kelola saja bagi mereka, namun juga nilai spiritual dan kepercayaan yang dibangun turun temurun.
Ary Lesmana dari World Resources Institute Indonesia juga turut membahas isu ini. “Kami di WRI itu menemukan banyak data untuk membantu masyarakat yang sedang mengalami konflik lahan. Karena tidak hanya satu dua kasus saja, ada banyak yang sedang kami bantu dan tersebar di seluruh pulau. Sangat rumit tentunya, karena di pengadilan masyarakat harus memetakan kembali batas-batas lahan mereka yang biasanya itu hanya ditandai oleh makan atau pohon. Kami bantu memetakan, menghitung, bahkan menuangkan dalam rencana kelolanya. Itu kalau masyarakat sendiri jelas tidak bisa,” tutur Ary.
Film “Tanah Moyangku” dihadirkan dalam rangkaian Festival Ajisaka UGM 2024 yang digelar oleh Departemen Ilmu Komunikasi UGM untuk mengingatkan kembali akan konflik agraria masyarakat. Sesuai dengan temanya, “Nature Conservation: Empowering Youth Advocacy Through Digital Media Creation” acara ini berkomitmen untuk mendorong gerakan anak muda dalam menyuarakan isu-isu kemanusiaan, satwa, dan puspa di ranah komunikasi. Melalui langkah ini, Festival Ajisaka UGM 2024 mengharapkan kemunculan agen-agen perubahan yang akan mewujudkan kehidupan ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Penulis: Tasya