Industri otomotif telah berdiri di Indonesia selama 100 tahun lamanya. Sektor ini mengalami berbagai perubahan dan perkembangan dari masa ke masa untuk memenuhi kebutuhan mobilisasi penduduk. Tahun ini, sektor transportasi tengah menghadapi tantangan besar dalam target pengurangan emisi karbon di tahun 2060 mendatang. Untuk itu kali ini Fakultas Teknik UGM mengangkat isu tersebut dalam Seminar Nasional 100 Tahun Industri Otomotif Indonesia, Mewujudkan Indonesia Net Zero Emission 2060 pada Rabu (8/11).
“Studi penggunaan tenaga listrik yang memanfaatkan potensi energi terbarukan, dan membangun kebiasaan yang mendukung pengurangan emisi karbon dalam industri otomotif diharapkan mampu mendorong komitmen dekarbonisasi Indonesia. Penguatan ekosistem ini tentu melibatkan edukasi dan kesadaran masyarakat yang merupakan tugas perguruan tinggi. Dan saya kira UGM ini sudah melaksanakan berbagai bentuk kegiatan untuk mendukung Suistanable Development Goals yang dengan keras kita lakukan,” ungkap Prof. Dr. Wening Udasmoro, SS, M.Hum., DEA, Wakil Rektor Bidang Pendidikan dan Pengajaran UGM dalam seminar yang bertajuk “Tantangan Sosial Ekonomi dan Transformasi Digital dalam Pengembangan Energi Alternatif di Sektor Transportasi Menuju Net-Zero Emission 2060” tersebut.
Seminar ini turut menggandeng perguruan tinggi lainnya, seperti Institut Teknologi Bandung, Universitas Indonesia, Universitas Sebelas Maret, Universitas Diponegoro, Universitas Udayana, dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Kolaborasi ini tentunya ditujukan untuk membangun integrasi yang kuat guna bersama meluncurkan inovasi ramah lingkungan, khususnya di bahan bakar dari energi terbarukan. Prof. Ir. Sarjiya, S.T., MT., Ph.D., IPU., Dosen Fakultas Teknik UGM menekankan dalam target pengurangan emisi karbon sebesar 29% dengan usaha sendiri, dan 40% dengan bantuan internasional tersebut, dibutuhkan alternatif yang dapat menjadi pengganti namun tidak menimbulkan persoalan di bidang sosial-ekonomi.
“Kenapa energi itu menjadi fokus utama? Kalau kita lihat itu penyumbang emisi karbon terbesar itu urutan pertama adalah kehutanan, kemudian kedua adalah energi. Jadi di sektor energi ini kita perlu menurunkan sampai 358 juta ton emisi. Karenanya, kita perlu memikirkan alternatif apa yang bisa kita maksimalkan peluangnya. Maka kemudian, hidrogen sebagai salah satu peluang,” tutur Prof. Sarjiya. Komitmen penurunan emisi ini tidak terlepas dari kebiasaan masyarakat seharii-hari. Tak dapat dipungkiri, kebutuhan mobilisasi era kini terlampau tinggi dalam penggunaan transportasi berbahan bakar fosil. Maka strategi yang perlu dibangun adalah tidak hanya beralih ke energi terbarukan, namun juga menyeimbangkan kebutuhan masyarakat.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral RI, penggunaan bahan bakar fosil masih menduduki peringkat pertama. Namun berbanding terbalik dengan konsumsi, produksi bahan bakar tersebut justru semakin menurun karena berkurangnya ketersediaannya di alam. Sedang di sektor energi, penyumbang emisi paling besar adalah pembangkit listrik (243 juta ton), disusul transportasi (161,6 juta ton), dan industri (100,7).Hal ini disampaikan oleh Andriah Feby Misna, S.T., M.T., M.Sc, Direktur Bidang Energi Baru dan Terbarukan Kementerian ESDM RI.
“Strategi yang kita lakukan adalah pertama kita berupaya mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Kita ingin mencapai target NZE dan menciptakan lapangan pekerjaan hijau. Kemudian kita ingin mengejar target dekarbonisasi dengan mengembangkan pasar hidrogen domestik. Dan jika kita mencapai keduanya, nantinya Indonesia bisa mengekspor hidrogen dan turunannya ke pasar global dengan memanfaatkan keunikan sebagai negara maritim,” ucap Feby.
Penulis: Tasya
Foto: https://www.esgi.ai/id