Prof. Dr. Ritmaleni, S.Si tidak memungkiri bila emisi karbon dan polusi plastik yang ada saat ini adalah akibat dari reaksi kimia. Karena itu, ia berharap kepada para ahli kimia untuk berfikir ulang terkait bagaimana pendidikan kimia diberikan untuk generasi sekarang dan masa depan.
Pendidikan ilmu kimia yang diberikan di sekolah-sekolah dan universitas, menurutnya, harus diubah agar dapat membantu ikut menyelamatkan bumi. Salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan memanfaatkan keberadaan artificial intelligence (AI) dalam rangka mengubah senyawa-senyawa by-product dan side-product reaksi kimia menjadi bahan-bahan yang berguna.
“Dari penelitian diketahui dapat dibuat sekitar 300 senyawa kimia yang biasa digunakan di farmasi dan pertanian termasuk antibiotik dapsone dan intermediet untuk pembuatan cisatracurium, obat pada pengobatan Covid-19. Hal ini tentu merupakan contoh aksi lain yang merupakan aplikasi dari Green Chemistry dalam hal pembangunan yang berkelanjutan,” ujarnya di Balai Senat UGM, Selasa (25/7).
Prof. Ritmaleni mengatakan itu saat dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam Bidang Kimia Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada. Dalam pengukuhannya, ia menyampaikan pidato berjudul Kimia Organik, Bagian dari Solusi Penyakit Akibat Perubahan Iklim.
Terkait prinsip Green Chemistry, ia menjelaskan bila prinsip Green Chemistry muncul karena adanya Global Warning. Seluruh negara di dunia terimbas dengan kondisi bumi saat itu yang semakin panas.
Sehingga Global Warning yang terjadi saat ini adalah bagian dari perubahan iklim. Disebutnya para ahli kimia dan ilmu kimia melalui kimia organiknya sesungguhnya telah bersiap sejak lama untuk menghadapi dampak dari perubahan iklim ini, terutama dampaknya terhadap kesehatan manusia.
“Dengan demikian boleh dibilang ilmu kimia organik merupakan salah satu solusi dalam menghadapi dampak dari adanya perubahan iklim,” jelasnya.
Sebagai pakar Kimia Sintesis Organik, Ritmaleni pun mengakui meskipun masih terdapat kontroversi tentang perubahan iklim, tetapi perubahan iklim adalah hal yang sangat nyata. Oleh karena itu, ia mengajak banyak pihak untuk bisa membantu ilmu kimia organik agar dapat berperan lebih dalam menghadapi perubahan iklim di masa yang akan datang.
“Pidato saya memberi gambaran bagaimana Ilmu Kimia Organik berperan dalam menghadapi dampak dari perubahan iklim. Kimia Organik melalui Kimia Organik Sintesis dapat menjadi bagian dari solusi Perubahan Iklim di dunia, terutama pada proses penemuan obat untuk penyakit-penyakit akibat dampak dari perubahan iklim melalui penerapan prinsip Green Chemistry,” paparnya.
Sektor kesehatan memang diperkirakan mengalami kerugian cukup besar secara ekonomi karena adanya dampak dari perubahan iklim. Salah satu contoh kasusnya adalah penyakit demam berdarah yang diprediksi akan meningkat jumlahnya. Sementara di dunia, salah satu sumber data menyebutkan bahwa 89,3 persen populasi dunia dimana 8,4 milyar orang berisiko terjangkit malaria pada tahun 2078.
“Angka ini tentu seharusnya telah cukup dapat membuat kita bersiap diri. Perubahan iklim menjadi isu yang harus diperhatikan karena ini memiliki dampak dan risiko yang besar terlebih pada keberlangsungan makhluk hidup dan generasi di masa mendatang,” terangnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Firsto