Transisi energi menjadi energi terbarukan adalah salah satu target untuk mencapai Net Zero Emission pada 2060. Saat ini, penggunaan bahan bakar batu bara mencapai 35,36%, gas alam sebesar 19,36%, dan minyak bumi sebesar 34,38%. Hampir seluruh sektor industri, transportasi, peternakan, hingga perumahan telah menggunakan bahan bakar bumi yang menyumbang emisi karbon, dan mengakibatkan perubahan iklim. Dorongan transisi energi ini turut diperhatikan oleh Fakultas Teknik UGM melalui diskursus bertema “Energy Transition Discourse: Indonesia’s Pathway to Achieving Net Zero Emissions by 2060” pada Sabtu (14/10).
“Musim kemarau yang seharusnya kalau dari kebiasaan tahun-tahun sebelumnya itu sudah masuk hari ini, tapi sampai saat ini kita belum memasuki musim hujan. Bahkan di beberapa tempat, mengalami kekeringan air. Saya kira banyak yang bisa kita lakukan sebagai individu, seperti mengatur penggunaan listrik, dan beralih ke transportasi umum. Penggunaan bahan bakar fosil ini semakin meningkat, dan kalau dibiarkan tentu tidak baik. Kalau kita melihat pertumbuhan energi terbarukan saat ini juga belum sesuai harapan,” ucap Dekan Fakultas Teknik UGM, Prof. Ir. Selo, S.T., M.T., M.Sc., Ph.D.
Melalui Presidensi G20 Indonesia, para pemimpin dunia telah menyetujui adanya poin transisi energi, khususnya di Indonesia. Komitmen inilah yang akan terus dipertahankan, bahkan memimpin negara lain untuk ikut melakukan transisi energi. “Indonesia ini merupakan negara keempat dengan penduduk terbanyak. Tapi kita jugalah yang berada di nomor 12 di dunia untuk penggunaan energi. Ini agak ngeri juga, harus hati-hati. Selain itu, kita juga menjadi nomor 1 sebagai eksportir batu bara dunia. Kita punya timeline Net Zero Emission Milestone. Dan ini bukan lagi bisa ditunda, sudah darurat. Jadi, ini waktunya sekarang kita punya teknologi apa, dan dimaksimalkan. 2050 itu bukanlah waktu yang singkat untuk melakukan revolusi energi, tapi tentunya akan dipercepat,” tutur Ahmad Agus Setiawan S.T., M.Sc., Ph.D. dari Fakultas Teknik UGM.
Batu bara sebagai salah satu penyumbang emisi karbon terbesar telah menjadi sumber energi utama yang digunakan negara ini bertahun-tahun. Pertumbuhan batu bara sejak tahun 2000 dikatakan meningkat dua kali lipat hingga 61%. Kondisi ini berbanding terbalik dengan pertumbuhan energi terbarukan yang cenderung stagnan. Ketergantungan Indonesia akan industri batu bara menjadi hambatan utama dalam mencapai skema transisi energi. Potensi kerugian akan pengurangan atau pemberhentian industri pun juga menjadi ancaman.
Setidaknya terdapat tiga hal yang menjadi tantangan. Pertama, hutang Indonesia yang masih mencapai 20 miliar. Kedua, penggunaan batu bara yang sudah ditargetkan dalam beberapa tahun kedepan. Ketiga, kurangnya implementasi kebijakan penggunaan batu bara. “Kunci kesuksesan transisi energi di Indonesia ini ada empat. Dari segi sistem, ini harus diseimbangkan, bagaimana peran PLN nanti dan bagaimana industri energi ini berjalan berdampingan. Lalu dari segi komunitas, ini masih harus didorong. Persoalan lain adalah bagaimana kita membuat transisi yang halus. Jadi meskipun misalkan nanti ada sektor yang ditutup, ekonomi ini tidak jatuh dan tidak ada disrupsi lain yang muncul,” ujar M. Rizki Kresnawan, S.T., M.Eng., pakar Climatework Center, Monash University.
Penulis: Tasya