Kampanye Pemilu 2024 telah berlangsung sejak akhir tahun 2023 lalu. Baliho, spanduk, poster calon presiden maupun legislatif marak kita temui di setiap sudut jalan saat ini. Sayangnya, alat-alat kampanye tersebut tidak teroganisir dengan baik dan justru menambah pelik masalah sampah visual. Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) menyoroti produksi sampah visual yang meningkat dalam beberapa bulan terakhir karena kampanye Pemilu 2024 ini.
“Saya kira isu sampah visual itu bukan barang baru dan tidak hanya terjadi di tahun politik. Jadi itu isu lama yang belum terpecahkan termasuk, khususnya di Kota Yogyakarta ini termasuk contoh yang paling tidak bagus mengenai sampah visual. Tapi di satu sisi bahwa di tahun politik ya wajar kita pasang baliho, karena itu pesta demokrasi. Sampai kapanpun kita akan terus belajar dan berdemokrasi,” ujar Prof. Ir. Bakti Setiawan, M.A., Ph.D, Dosen Fakultas Teknik UGM dalam Podcast Lestari pada Sabtu (13/1). Menurutnya, saat ini publik ataupun partai politik juga mulai mempertanyakan efektivitas pemasangan baliho dan poster di jalanan. Langkah ini cukup mengindikasikan bahwa demokrasi tetap mengalami evaluasi dan transisi ke cara yang lebih ramah lingkungan.
Masalah sampah visual setiap pelaksanaan pemilu harusnya sudah mendapat perhatian lebih dari setiap kepala daerah. Pemasangan baliho dan spanduk yang tidak teratur, poster yang berserakan di jalanan, hingga bendera parpol yang entah kapan akan dilepas menambah pelik permasalahan sampah di Yogyakarta. Keberadaan sampah visual tersebut seringkali justru mengganggu keindahan dari sebuah kota, dan masyarakatlah yang seharusnya menyadari akan ketidaknyamanan tersebut. Evaluasi seputar tata perkotaan perlu dikaji lebih mendalam, bukan hanya tentang letak bangunan yang bersifat permanen, namun juga letak iklan-iklan yang strategis agar tidak mengganggu fungsi sarana dan visual perkotaan.
“Seharusnya memang diperlukan evaluasi untuk mendapatkan standar dari keindahan kota. Kalau kita menilai keindahan itu kan seringkali subjektif. Selama ini juga evaluasi itu dilakukan sendiri oleh seniman atau pembuat advertising tersebut, padahal akhirnya kan yang mengevaluasi juga masyarakat,” tambah Prof. Bakti. Iklan visual memiliki unsur seni dan pesan yang penting untuk disampaikan pada audiens. Seni dalam atribut kampanye di sepanjang kota pun sebenarnya menarik untuk ditelisik lebih dalam. Partai politik dengan ideologi, visi misi, dan tujuannya, bisa dikemas dalam seni visual yang lebih apik dan enak dipandang. Masyarakat pun nantinya tidak hanya tertarik untuk melihat atribut kampanye parpol, namun juga membentuk image dan branding untuk partai politik itu sendiri.
Menurut Prof. Bakti, setiap individu memiliki hak atas keindahan dan kenyamanan kotanya. Yogyakarta dikenal dengan orisinalitas warisan budaya dan panorama kotanya yang menarik banyak wisatawan. Kelebihan ini tentunya perlu diapresiasi dan dijaga agar tetap asri dan nyaman dikunjungi. Keberadaan sampah visual memang bukan hal baru, namun jangan sampai hal ini justru dinormalisasikan. “Setiap orang memiliki hak atas kota yang lebih cantik, termasuk dari sisi sampah visual. Jadi karena ini juga mulai diperhatikan, saya kira gerakan ini perlu diteruskan untuk menjaga kota kita,” tutup Prof. Bakti.
Penulis: Tasya