Penutupan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan, Bantul, Yogyakarta sejak 23 Juli 2023 menyebabkan kondisi sampah yang tidak terkendali. Langkah ini diambil karena kapasitas penampungan sampah di lahan TPA Piyungan sudah melebihi batas. Menanggapi isu tersebut, ahli politik UGM bersama Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM membeberkan beberapa fakta dari segi regulasi dan sosial kepedulian masyarakat terhadap sampah.
“Pertanyaannya, kenapa setelah penuh setelah ditutup baru gaduh. Memangnya selama ini kita tidak punya masalah sampah? Sekarang kita bisa melihat ya, yang selama ini kita kira sudah dikelola, ternyata belum,” ucap Nur Azizah, S.IP, M.Sc. dalam serial diskusi berjudul “Piyungan Penuh, Masyarakat Gaduh” pada Selasa (8/8). Menurutnya, kesadaran masyarakat akan sampah masih sangat minim, bahkan setelah penutupan TPA Piyungan yang menyebabkan penumpukan sampah di pemukiman. “Penutupan ini kan, bukan pertama kalinya. Tapi terus berulang dan belum memiliki solusi yang tepat,” tambahnya.
Peraturan mengenai pengelolaan sampah telah lama diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Sayangnya, implementasi dari regulasi tersebut masih sangat kurang. “Kalau kita lihat dari undang-undang, isinya itu canggih sekali. Sudah disebutkan tentang 3R (Reduce, Reuse, Recycle), bahkan muncul juga EPR atau Extended Producer Responsibility. Kalau kita cek lagi di 2008 itu, TPA yang sebelumnya adalah Tempat Pembuangan Akhir, sudah diubah menjadi Tempat Pemrosesan Akhir. Jadi secara ide, undang-undang itu sudah mengadopsi bahwa yang masuk ke TPA itu adalah residu saja,” tutur Nur.
Tak hanya itu, regulasi tersebut juga menyebutkan target untuk mengubah TPA di seluruh Indonesia menjadi berbasis sanitary landfill dalam kurun waktu lima tahun. Padahal dalam praktiknya, mayoritas TPA hanya digunakan sebagai lokasi penumpukan sampah saja, bukan pengelolaan sampah. Bahkan instrumen pengawasan dan evaluasi juga belum ada. Hal ini menyebabkan hingga pada tahun 2021 gunungan sampah di TPA tidak pernah dikelola dengan baik.
Selain dari segi regulasi, masyarakat juga memiliki peran penting dalam proses pengelolaan sampah. Salah satu upaya untuk meningkatkan kesadaran tersebut adalah edukasi melalui sektor pendidikan. Upaya tersebut sudah dilakukan sejak tahun 2021 oleh Suci Lestari Yuana, MIA., dosen Fisipol UGM dengan membuka sekolah economy circular. “Kami selalu berpikir, jika ingin membuat perubahan jangka panjang, maka kita mulai dari pendidikan. Kita undang kepala sekolah di pulau Jawa, ya sementara ini. Kita kenalkan sistem ekonomi sirkular yang sederhana tapi berdampak besar,” ungkapnya.
“Banyak yang salah kaprah terkait ekonomi sirkular ini. Mayoritas hanya fokus untuk mengelola sampah di tahap akhir saja. Padahal dari tahap produksi, distribusi, konsumsi, masing-masing itu ada sampahnya. Ini yang jarang kita diskusikan dan pahami. Setiap aktivitas kecil pun itu menghasilkan sampah,” ucap Suci. Sekolah ekonomi sirkular tersebut memberi pemahaman pada sekolah-sekolah untuk mengurangi sampah dalam aktivitas pembelajaran, seperti membawa alat makan dan minum sendiri, membuat eco break, dan pemahaman tentang memilah sampah.
“Perbaikan dalam budaya masyarakat ini juga harus didukung dengan perbaikan infrastruktur dan sistem. Jangan sampai ketika masyarakat kita sudah rajin, sudah memilah dan mengurangi sampah, tapi sistem pengelolaannya masih berujung di TPA saja. Jadi memang butuh kerja sama dengan berbagai pihak dan sektor, khususnya masyarakat dan pemerintah,” tambah Suci.
Penulis:Tasya