Prof. Dr. drh. Joko Prastowo, M.Si. dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Parasitologi pada Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada (UGM), Kamis (5/10), menjadikannya satu dari 418 guru besar aktif di UGM. Pada upacara pengukuhan yang berlangsung di Balai Senat, ia menyampaikan pidato pengukuhan berjudul “Lymnaea dan Pengaruhnya terhadap Persebaran Cacing Hati pada Ternak”.
“Topik yang akan disampaikan pada pidato ini termasuk dalam neglected tropical disease yang paling sering ditemukan dalam Ilmu Parasitologi Kedokteran Hewan, terutama di Indonesia,” ucapnya mengawali pidato.
Fasciolosis atau infeksi yang disebabkan cacing Fasciola, sering ditemukan pada ruminansia, terutama sapi. Dalam melangsungkan siklus hidupnya untuk mampu mencapai tahap infektif dan dapat menginfeksi individu hewan lain, Fasciola membutuhkan Lymnaea atau siput sebagai hospes perantara.
Dalam pidatonya, Joko memaparkan siklus hidup Fasciola, peran Lymnaeid dalam fasciolosis, hingga perubahan klinis Fasciolosis.Lebih lanjut ia menerangkan, pengobatan fasciolosis pada sapi dapat dilakukan dengan memberikan antelmintik atau obat cacing yang memiliki target seluruh tahap perkembangan Fasciola, seperti triclabendazole, maupun yang bertarget pada Fasciola dewasa saja, seperti closantel dan nitroxynil.
Secara umum, pencegahan fasciolosis menurutnya dapat dilakukan dengan menurunkan populasi hospes intermediet, pemberian antelmintik, atau dengan perbaikan manajemen pemeliharaan.
“Pencegahan fasciolosis pada negara beriklim sedang dapat dikendalikan dengan pemberian molluscicides dan antelmintik pada musim tertentu, serta mengurangi frekuensi penggembalaan. Hal tersebut berbeda penerapannya di Indonesia yang memiliki iklim tropis dengan kondisi lingkungan yang cocok untuk perkembangan parasit sepanjang tahun dan jenis manajemen pemeliharaan yang berbeda,” paparnya.
Lebih lanjut ia menerangkan, pemeliharaan sapi di Indonesia terutama di Pulau Jawa, mayoritas dipelihara di dalam kandang dan jarang digembalakan. Sisa hasil pertanian, terutama batang padi atau jerami, umum diberikan peternak sebagai pakan ternaknya.
Batang padi segar yang berasal dari sawah berperan sebagai sumber penularan fasciolosis karena tingginya potensi pencemaran batang padi tersebut oleh metacercaria Fasciola sp. yang dibawa oleh hospes intermediet, yaitu siput. Selain itu, kadang masih ditemukan beberapa peternak yang menggunakan manure segar untuk pupuk pertanian dan menggunakan sisa hasil pertanian untuk pakan ternak.
Siklus tersebutlah yang menyebabkan kejadian fasciolosis selalu ditemui sepanjang tahun, selain faktor cuaca dan iklim serta ketersediaan hospes perantara. Pengelolaan kotoran ternak dengan cara pembuatan kompos dan pelayuan pakan dapat menghambat perkembangan telur, sehingga siklus hidup Fasciola terhenti dan penularan dapat ditekan.
Menurut Joko, penyelidikan kemungkinan variasi jenis siput lymnaeid sebagai hospes perantara yang dapat ditemukan di alam masih sangat diperlukan terutama kaitannya dengan persebaran, maupun fluktuasi kejadian fasciolosis pada ternak ruminansia di suatu wilayah.
“Selain itu peningkatan pengetahuan peternak, melalui program pengabdian masyarakat, dapat ditingkatkan, sehingga dapat tercapai tujuan pengendalian dan pencegahan terjadinya infeksi, baik yang terjadi pada hewan maupun manusia,” pungkasnya.
Penulis: Gloria
Fotografer: Donnie