Sejak pandemi berlalu, ketimpangan kesejahteraan dan aksesibilitas kesehatan di masyarakat menjadi wacana yang banyak dibahas. Persebaran tenaga medis cenderung tidak merata, hingga membuat penduduk di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) kesulitan mengakses layanan kesehatan. Wacana ini dibahas tuntas dalam diskusi Sarasehan Nasional bertajuk “Peminatan Etik, Hukum, dan Disiplin Kedokteran Gigi (Petikumdikgi): Kontribusi dan Peluang Pengembangan Petikumdikgi dalam Pembangunan Kesehatan Gigi dan Mulut di Indonesia” pada Sabtu (26/8). Acara yang diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran Gigi UGM tersebut turut mengundang Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan Yogyakarta.
“Tantangan dunia kesehatan untuk memberikan layanan terbaik dan berkeadilan menjadi masalah bersama. Melalui UU No. 17 Tahun 2023, telah memberikan kesempatan bagi dokter gigi untuk berbakti dan menjalankan fungsinya dalam bidang kesehatan masyarakat demi kesejahteraan nasional. Kementerian kesehatan mengapresiasi Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Gadjah Mada yang telah menyelenggarakan acara ini,” ungkap Ir. Budi Gunadi Sadikin, CHFC, CLU., Menteri Kesehatan RI dalam sambutannya. Kementerian mendukung penuh berbagai gagasan untuk memberikan arah bagi bidang kesehatan.
“Ada tiga pokok utama yang menjadi kendala. Pertama, masalah pemerataan tenaga kerja kesehatan. Kedua, aksesibilitas masyarakat, khususnya masyarakat tidak mampu. Meskipun saat ini kita sudah mempunyai PBI (Penerima Bantuan Iuran), tapi itu tidak membuat masalah aksesibilitas ini teratasi. Kendala seperti transportasi, kondisi geografis, bahkan ketidakmampuan masyarakat untuk menggunakan haknya dalam BPJS juga menjadi hambatan,” ungkap drg. Suryono, SH., MM., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi. Masih banyak penduduk yang harus menempuh perjalanan berjam-jam, bahkan berhari-hari hanya untuk datang ke rumah sakit. Kondisi ini kemudian diperparah dengan minimnya persebaran tenaga medis di daerah terpencil, serta fasilitas kesehatan yang tidak memadai.
Suryono juga menuturkan, alasan lain mengapa persebaran tenaga medis masih belum merata adalah minimnya pembiayaan terkait alat-alat kedokteran. “Bahan dan alat kedokteran gigi itu 90% impor. Kenapa tidak, kita menuju pada kemandirian dalam memenuhi kebutuhan ini. Saya yakin, dengan adanya penelitian dan inovasi dari dosen dan berbagai pihak, nantinya bisa dimanfaatkan untuk pengembangan yang berguna bagi layanan kesehatan masyarakat,” tambahnya. Inisiatif inilah yang dianggapnya belum banyak ditumbuhkan dalam bidang kesehatan.
Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD sebagai Staff Khusus Menteri Kesehatan Bidang Ketahanan memberikan tanggapan terhadap kondisi ketidakmerataan sumber daya untuk layanan kesehatan. “Kalau saat ini kita memiliki 3.000 puskesmas yang tersebar di seluruh Indonesia. Nah, tapi kami belum tahu apakah seluruhnya itu bahkan memiliki poli gigi atau dokter gigi. Permasalahan aksesibilitas ini juga ada faktor lain selain kurangnya sarana kesehatan, yaitu tenaga medis. Maka dari itu dalam undang-undang, kami berinisiatif, bisa nggak kalau dokter umum itu dilatih secara khusus untuk menangani pasien yang harusnya ditangani dokter spesialis,” tuturnya.
Pelayanan akan kesehatan merupakan salah satu hak utama masyarakat yang harus dipenuhi. Berbagai kendala yang muncul tentunya membutuhkan kerja sama berbagai pihak, khususnya untuk memunculkan inisiatif pengabdian dokter di daerah terpencil. Integrasi antar disiplin ilmu pun diharapkan dapat membantu memberikan jalur bagi profesi untuk lebih leluasa menjalankan tugas dan fungsinya.
Penulis: Tasya