Jane Vogel Mantiri (71), merupakan warga negara Amerika Serikat yang memiliki darah Indonesia-Belanda dari kedua orang tuanya. Jane lahir di Jakarta. Banyak pengalaman yang telah diarungi Jane, di masa transisi pasca-Revolusi Kemerdekaan Indonesia. Di masa itu kelompok-kelompok non-Indonesia asli atau yang dianggap bukan berdarah murni Indonesia mendapatkan diskriminasi. Meningkatnya sentimen anti-Belanda ini mengakibatkan orang yang memiliki status kewarganegaraan Belanda atau yang mendapat penyetaraan dan tidak mengonversi menjadi WNI harus hengkang dari bumi Indonesia, termasuk keluarga Robert Cornelis, ayah Jane.
Jane menceritakan bahwa kepulangannya ke Belanda tidak lantas berarti diterima dengan baik. Sebab, ayahnya dianggap bukan keturunan asli warga Belanda, karena lahir di Nganjuk dan ibunya kelahiran Bandung berdarah Manado. Jane mengaku ia diperlakukan berbeda daripada anak-anak Belanda lain. “Kehidupan yang serba terbatas itu, menyebabkan ayah saya memutuskan untuk pindah ke Amerika Serikat,” kata Jane saat menceritakan pengalamannya dalam diskusi sejarah yang dilaksanakan oleh Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM bersama dengan Komunitas Malam Museum dan See Jane Run Team di Ruang Sidang 1 Gedung Poerbatjaraka FIB UGM belum lama ini.
Saat berpindah ke Amerika Serikat, kata Jane, diskriminasi berlanjut. Jane dianggap terlalu coklat bagi sebagai warga negara Amerika. Bahkan, keluarga Indo-Belanda ini tidak lantas mendapatkan status kewarganegaraannya dari Pemerintah Amerika Serikat.
Selain sulitnya mendapat status kewarganegaraan, Jane dan keluarganya masih diliputi perasaan traumatis latar belakang keluarganya saat masa Revolusi di Indonesia. Sebab, hampir seluruh anggota keluarganya menjadi tahanan perang di masa Penjajahan Jepang. “Pada November 1945 tante saya juga menjadi korban pembunuhan pada saat perjalanan pulang ke Surabaya oleh kelompok kecil gerilyawan yang bertindak secara eksesif di luar kendali,” katanya.
Peneliti Indo-Belanda Tedy Harnawan, M.A., mengatakan perkawinan orang Belanda dengan warga lokal memunculkan kebudayaan baru yang disebut kebudayaan Indis. “Mereka ini pada masa kolonial memiliki distingsi dalam struktur masyarakat kolonial. Dianggap orang Belanda tapi memiliki darah bumiputera, dianggap orang Belanda tapi merupakan gelijkgestelden (status penyetaraan warga negara) Belanda. Jane dan keluarganya adalah salah satu dari komunitas indis tersebut,” katanya.
Dosen Departemen Sejarah FIB UGM, Dr. Wildan Sena Utama, mengatakan pengalaman keluarga Jane pasca masa revolusi kemerdekaan memberikan sudut pandang baru bagi perlakuan diskriminasi dari warga Indo-belanda. “Kita harus melihat masa Revolusi dari dua sisi, tidak hanya dari sisi Indonesia saja tapi dari sudut pandang yang lain. Sehingga memberi pengetahuan yang berarti bagi generasi sekarang dan yang akan datang,” ujarnya.
Penulis : Gusti Grehenson