Posisi Indonesia dalam percaturan diplomasi global baik sebagai anggota G-20 dan pendiri Gerakan Non Blok (GNB), Bahasa Indonesia semakin dikenal luas seiring menguatnya peran ekonomi, politik, diplomasi, dan kebudayaan Indonesia. Vitalitas bahasa Indonesia ini bukan hanya didukung dengan perannya sebagai bahasa resmi negara dan bahasa nasional, melainkan juga dalam peran sebagai bahasa internasional. Sebagai bahasa internasional, bahasa Indonesia semakin menunjukkan eksistensinya—tinggi, aman, dan luas pemakaiannya. Hal ini dibuktikan dengan adanya 428 lembaga penyelenggara pembelajaran program Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA) yang tersebar di 52 negara.
Di Kampus UGM, program pembelajaran BIPA diselenggarakan oleh Lembaga Indonesian Culture and Language Learning Service (INCULS), Fakultas Ilmu Budaya (FIB). Di lembaga ini, mahasiswa asing yang ingin menempuh pendidikan sarjana hingga pascasarjana diwajibkan mengikuti kursus Bahasa Indonesia. Tidak hanya mahasiswa, peneliti dari luar yang ingin belajar Bahasa Indonesia juga sengaja belajar bahasa Indonesia. Di sini juga mereka tidak hanya diajarkan bisa bertutur dengan bahasa Indonesia, namun juga diajak bisa mengenal lebih dekat dengan budaya dengan berlatih gamelan hingga tari tradisional.
Dobrin Tsvetanov Bugov (29 tahun) asal Bulgaria saat ini tengah menempuh Pendidikan Doktor ilmu Antropologi FIB UGM mengaku belajar Bahasa Indonesia sejak tahun 2013 saat ia masih kuliah di pendidikan S1 Kajian Asia Tenggara di Universitas Sofia Bulgaria. Kebetulan saat itu ia ditawari mata kuliah pilihan di kampusnya antara lain mata kuliah bahasa dan sastra Korea atau mata kuliah bahasa dan sastra Indonesia. Dikarenakan mata kuliah Bahasa Indonesia memiliki kredit 4 sks, akhirnya ia menjatuhkan pilihan ke Bahasa Indonesia. “Pertama kali bergabung, dulu minatnya pada bahasa Korea. Saat ada kelas budaya dan bahasa oleh KBRI Bulgaria, saya pilih daftar bahasa Indonesia karena 4 sks,” kata Dobrin saat mengisi talkshow Menduniakan Bahasa Indonesia melalui BIPA, Kamis (19/10) di ruang Auditorium Gedung Soegondo FIB UGM.
Setelah mengikuti mata kuliah Bahasa dan sastra Indonesia, ujar Dobrin, kecintaannya pada Bahasa Indonesia mengantarkannya untuk membulatkan tekad mendaftar kuliah S2 Ilmu Hubungan Internasional di Fisipol UGM di tahun 2019. Tidak berhenti sampai di situ, setelah lulus master, ia pun mendapat beasiswa untuk melanjutkan Pendidikan S3 di prodi Antropologi FIB UGM. “Sampai sekarang saya tidak pernah menyesal ambil bahasa Indonesia, banyak peluang membuat saya bisa berkembang . Saya sangat bersyukur,” katanya.
Lain halnya dengan kisah Andrew Mulabbu (40 tahun) asal Uganda. Ia mulai mengenal bahasa Indonesia sejak 2008 karena mendapat beasiswa Gerakan Non Blok untuk melanjutkan Pendidikan S2 di prodi Penginderaan Jarak jauh Fakultas Geografi UGM. Dikarenakan ia belum fasih bahasa Indonesia, ia tidak bisa langsung kuliah namun diharuskan ikut kursus Bahasa Indonesia selama satu tahun di Inculs UGM. “Saya masih ingat membawa kamus tebal Bahasa Indonesia kemana-mana,”kenang Mahasiswa S3 Prodi Geografi UGM
Berbeda dengan Anne Harvey (71 tahun). Wanita asal Amerika Serikat mengaku datang jauh-jauh ke UGM karena ingin belajar dan fasih bicara Bahasa Indonesia. “Kalau mereka (mahasiswa asing) belajar bahasa karena ingin kuliah, kalau saya memang betul mau belajar bahasa,” paparnya.
Saat datang ke UGM pada tahun 2015, Anne mengaku senang banyak rekan mahasiswa dan dosen di UGM yang berkomunikasi dengan Bahasa Inggris dengannya. Namun begitu, ia tetap ingin mereka mengajarkan padanya berbicara Bahasa Indonesia. “Semua orang mau berbicara bahasa Inggris, mereka mau latihan bahasa Inggris, tentu saja, saya juga mau belajar Bahasa Indonesia. Terima kasih banyak untuk ini, saya bisa latihan Bahasa di sini,” pungkasnya.
Penulis: Gusti Grehenson