Indonesia menempati peringkat ketiga sebagai negara dengan beban kasus kusta tertinggi di dunia. Meski relatif jarang terdengar bagi sebagian masyarakat, namun Kusta termasuk dalam penyakit tropis yang terabaikan. Kusta sendiri adalah penyakit infeksi dan menular yang disebabkan oleh kuman mycobacterium leprae. Kuman ini dapat menular melalui kontak langsung dengan penderita dan melalui pernapasan dengan masa inkubasi 2-5 tahun setelah kuman masuk ke dalam tubuh. Namun hal yang paling ditakuti dari kusta adalah terjadinya disabilitas bagi penderitanya. Oleh karena itu, upaya menemukan penderita kusta sebelum mengalami disabilitas menjadi langkah penting dalam upaya pemberantasan penyakit kusta di tanah air.
Hal itu mengemuka dalam talkshow bertajuk “Apa Kabar Kusta Pasca Pandemi?” Rabu, (15/5) di FK-KMK UGM. Dalam talkshow yang diaelenggarakan Pusat Kedokteran Tropis (PKT) UGM bekerja sama dengan NLR Indonesia menghadirkan narasumber dari tokoh-tokoh yang terlibat dalam penanganan kusta. Selain pemangku kepentingan, hadir pula peneliti, praktisi dari non-government organization (NGO) hingga orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK).
Ketua Tim Kerja Neglected tropical Disease (NTDs), Kementerian Kesehatan RI, dr. Regina T Sidjabat, M.Epid., mengatakan kusta dapat diobati total tanpa meninggalkan disabilitas selagi ditemukan sejak dini dan segera diobati hingga tuntas. Upaya yang dilakukan dengan menemukan penderita sebagai bentuk strategi dan intervensi utama menuju eliminasi kusta di Indonesia. “Penemuan kasus kusta tersebut harus melibatkan semua pihak termasuk pemangku kepentingan, tokoh masyarakat dan tokoh agama,” katanya.
Direktur Eksekutif NLR Indonesia Agus Wijayanto mengatakan masih banyak penderita kusta yang mengalami stigma. Hal tersebut akan memengaruhi aspek kehidupan lainnya, termasuk mata pencahariannya. Untuk menghilangkan stigma diperlukan juga advokasi lintas sektor.
“Mengakui diri menderita kusta itu berat,” ungkap Agus Wijayanto.
Soal masih adanya stigma negatif untuk para penyandang kusta di tengah masyarakat diungkapkan oleh Ahmad Idris Afandi. Sebagai OYPMK, ia dan organisasi yang ia pimpin, Sahabat Pendamping Indramayu, turut mengedukasi masyarakat hingga lapisan paling bawah. Ia sering mendapat informasi ada penderita kusta yang masih usia anak-anak beserta keluarganya menjadi korban stigma dari tetangga-tetangganya.”Kami datangi door-to-door rumah warga di sekitar penderita kusta untuk mengedukasi,” ungkap Ahmad.
Peneliti Pusat Kedokteran Tropis (PKT) UGM, dr. Astri Ferdiana, MPH, Ph.D., yang menjadi pemandu acara talkshow mengatakan pemberantasan penyakit kusta harus disertai dengan upaya penghilangan stigma bagi penderitanya. Ia berharap masyarakat semakin sadar dan teredukasi dengan baik bahwa penyakit kusta itu masih ada di tengah masyarakat sehingga tidak boleh abai.
Astri Ferdiana juga mengapresiasi kerja keras yang dilaksanakan oleh NLR Indonesia yang sudah memulai upayanya dalam penanggulangan kusta dan konsekuensinya sejak 1975. Pendekatan yang digunakan ada tiga, yaitu: zero transmission (nihil penularan), zero disability (nihil disabilitas), dan zero exclusion (nihil eksklusi).
Astri menuturkan penyakit yang digolongkan sebagai NTDs juga mendapat perhatian dari PKT UGM. Satu dari enam kelompok kerja (pokja) yang ada di PKT UGM adalah pokja NTDs. “Tahun lalu, PKT UGM terlibat aktif dalam penyusunan Rencana Aksi Nasional Eliminasi Kusta 2023-2027,” katanya.
Penulis: Gusti Gelrehenson