Pemerintahan terpilih ke depan diharapkan memberi porsi lebih besar untuk kerja-kerja di bidang pertanian. Hingga Februari 2023 tercatat sedikitnya 40,69 juta orang di Indonesia bekerja di bidang ini.
Meski sebagai negara agraris, garis kemiskinan di Indonesia masih menjadi masalah klasik yang melanda sebagian besar nasib dan kehidupan petani. Nampak-nampaknya sangat sulit bagi petani, terutama petani gurem dan buruh, untuk melepaskan diri dari kungkungan hidup miskin, dan tidak sedikit dari mereka hidup hanya untuk menyambung nyawa.
“Mengangkat petani dari kemiskinan dan menobatkan mereka sebagai pahlawan pangan adalah tugas besar yang akan dihadapi pemerintahan terlantik nantinya di bulan Oktober,” ujar Bayu Dwi Apri Nugroho, S.T.P., M.Agr., Ph.D. di Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Selasa (2/4).
Sebagai pengamat pertanian, bidang Agrometeorologi, Ilmu Lingkungan, dan Perubahan Iklim UGM, ia mengatakan pemerintahan sebelumnya telah meluncurkan banyak program untuk menyejahterakan petani namun hingga saat ini belum mencapai hasil yang signifikan dalam mengeluarkan petani dari kemiskinan. Mulai program intensifikasi pertanian, yang mencakup penggunaan bibit unggul, perbaikan saluran irigasi, dan penggunaan pupuk, hingga program pendampingan dan penyuluhan yang masif dan intensif untuk kelompok tani.
Kenyataan setiap program yang telah dilaksanakan belum sepenuhnya berhasil meningkatkan kehidupan petani. Meskipun juga diakui masalah pertanian memang menjadi masalah rumit dan beragam di setiap wilayah.
“Dalam hal regenerasi petani, data dari Badan Pusat Statistik tahun 2020 menunjukkan bahwa 64,50 juta orang Indonesia berada dalam kelompok umur pemuda. Namun, persentase pemuda yang bekerja di sektor pertanian hanya 21 persen,” katanya.
Jumlah tersebut, katanya jauh lebih sedikit dibanding mereka yang bekerja di sektor industri manufaktur (24%), dan industri jasa (55%). Ada banyak alasan mengapa persentase pemuda yang bekerja di sektor pertanian rendah.
Pertama, gambaran yang berhubungan dengan pertanian. Hal ini, menurutnya, membutuhkan branding pertanian yang baik agar pertanian dianggap menarik. Kedua berhubungan dengan risiko.
“Yang pertama adalah ketergantungan pada alam dan yang kedua adalah masalah pendapatan yang rendah. Ketika orang tuanya yang sekarang menjadi petani justru melarang anak-anak mereka untuk menjadi petani, dan ini menjadikan masalah semakin kompleks,” terangnya.
Bahkan dalam beberapa kasus, orang tua petani terpaksa harus menjual sawahnya untuk membiayai pendidikan anak-anaknya. Mereka sangat berharap anak-anaknya bernasib baik jika bisa lulus sekolah tinggi.
“Orang tua ingin anak-anaknya menjadi ASN atau Aparat Sipil Negara (ASN) dan lain-lain setelah lulus sekolah. Ini adalah kenyataan saat ini di masyarakat,” tuturnya.
Belum lagi intensitas bencana alam yang menyebabkan kekeringan dan banjir juga menjadi ancaman dan tantangan bagi pertanian saat ini. Bagi sektor pertanian, perubahan iklim berdampak pada pergeseran pola, kalender, dan jadwal tanam, eksplosi hama dan penyakit hewan, dan penurunan hasil produksi pertanian.
Dia menyampaikan sejak tahun 1998, suhu telah meningkat 1 derajat celsius. Akibatnya, diperkirakan akan terjadi peningkatan curah hujan sebesar 2-3 persen per tahun. Sementara dalam lima tahun terakhir, jumlah lahan sawah yang terkena banjir rata-rata 188.662 ha (52.265 ha di antaranya terkena banjir) dan kekeringan rata-rata 255.974 ha (75.246 ha di antaranya terkena kekeringan).
“Salah satu tantangan utama dalam menghadapi dampak perubahan iklim global adalah meningkatkan keterampilan dan pengetahuan petani serta petugas lapangan dalam meramal iklim dan mengambil tindakan pencegahan, mitigasi, dan adaptasi yang diperlukan,” terangnya.
Salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan petani dalam mengantisipasi dan mengurangi dampak perubahan iklim adalah melalui program Sekolah Lapangan Iklim (SLI), serta dengan memperkuat sistem informasi iklim dan menyesuaikan pola tanam sesuai dengan kondisi setempat. Selain itu, penting untuk mengembangkan teknologi yang relevan dan menciptakan varietas tanaman yang ramah lingkungan, mampu mengurangi emisi gas rumah kaca, toleran terhadap perubahan suhu, kekeringan, banjir, genangan, dan tingkat salinitas yang tinggi.
“Berbagai tantangan dari sektor pertanian tersebut tentunya menjadi suatu tantangan tersendiri juga dalam pemerintahan Indonesia ke depan, sehingga permasalahan swasembada pangan bukan lagi impian tapi menjadi kenyataan,” ungkapnya.
Penulis: Agung Nugroho
Foto: Koran-jakarta.com