Pura Mangkunegaran merupakan salah satu bangunan cagar budaya sebagai peninggalan dari kekayaan tradisi dan sejarah Nusantara. Selain sebagai tempat tinggal anggota kerajaan, saat ini keraton telah menjadi destinasi wisata kebudayaan di Indonesia. Belakangan ini, Pura Mangkunegaran menyorot perhatian melalui unggahan-unggahan yang viral di media sosial. Sebagai sebuah destinasi pariwisata kebudayaan yang menggabungkan akulturasi antara kebudayaan tradisional dan modern.
Adanya sentuhan modernisasi yang terjadi di Pura Mangkunegaran dan upaya resiliensi yang dilakukan oleh pihak Pura Mangkunegaran untuk meminimalkan dampak negatif dari modernisasi ternyata menarik minat dari Tim Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang Riset Sosial Humaniora (RSH) UGM. Adalah Syahriza Indra Utomo, Doni Andika Pradana (Filsafat 2020), Daffa Naufal Nurrahmad, Salma Nur Rahmasari (Isipol 2021), dan Nurul Athifah (Arkeologi 2021) dan didampingi oleh Dosen Fakultas Filsafat UGM, Dr. Sartini, M.Hum., yang tergabung dalam Tim PKM Riset Sosial Humaniora melakukan penelitian secara mendalam mengenai hibriditas budaya lokal sebagai upaya resiliensi dampak negatif modernisasi dari Pura Mangkunegaran di Kota Surakarta, Jawa Tengah, yang dijuluki dengan ‘Keraton Milenial’.
Penelitian yang dilakukan sejak bulan Juni 2023 lalu ini lebih menyoroti soal dinamika modernisasi Pura Mangkunegaran. Salah satu anggota tim PKM, Doni Andika, menjelaskan bahwa modernisasi yang terjadi di Pura Mangkunegaran merupakan fenomena yang telah dimulai sejak kepemimpinan KGPAA Mangkunegara I, berlanjut hingga saat ini kepemimpinan KGPAA Mangkunegara X. “Sikap keterbukaan setiap raja yang bertahta selalu memiliki ciri khas yang menjadi identitas kepemimpinan,” kata Doni.
Pada masa kepemimpinan Mangkunegara VII, modernisasi nampak pada pembangunan sebuah societeit Mangkunegaran atau ruang temu publik yang dipergunakan sebagai tempat diskusi antar bangsawan yang merupakan tren dari Eropa pada tahun 1900-an. “Tak hanya itu, pada masa itu sudah terdapat sebuah taman di area barat Pura Mangkunegaran yang tidak hanya berfungsi sebagai taman saja, namun juga terdapat rumah cukur dan kolam untuk berenang keluarga kerajaan,” jelasnya.
Salma Nur Rahmasari, anggota tim lainnya, menegaskan taman pada area barat Pura Mangkunegaran atau dikenal dengan Taman Pracima sempat terbengkalai dan mengalami kerusakan serta pelapukan. Akan tetapi, pada masa kepemimpinan KGPAA Mangkunegara X, revitalisasi taman Pracima digalakkan dengan berkiblat pada kondisi dan struktur taman pada masa pemerintahan Mangkunegara VII dengan tetap diselaraskan sesuai perkembangan zaman.
Salma menjelaskan revitalisasi Taman Pracima semakin memberikan rasa ‘milenial’ pada Pura Mangkunegaran. Sebab, para pengunjung yang mayoritas berasal dari generasi milenial ingin menikmati keindahan taman kerajaan dalam konsep yang lebih kekinian. Sebagai pusat budaya Jawa, kata Salma, Pura Mangkunegaran memiliki peran penting dalam melestarikan nilai-nilai dan tradisi kebudayaan Jawa. Meskipun terbuka terhadap modernisasi, Pura ini telah menjaga identitasnya dengan memadukan unsur-unsur budaya Barat dan Jawa. “Hingga kepemimpinan KGPAA Mangkunegara X, akulturasi antara budaya Jawa dan Eropa masih terlihat, terutama dalam arsitektur bangunan. Revitalisasi Taman Pracima pada masa kepemimpinan Mangkunegara X mencerminkan sikap keterbukaan terhadap modernisasi, sambil tetap menjaga nilai-nilai budaya Jawa. Sikap ini membentuk harmoni antara tradisi dan kemajuan modern, memberikan Mangkunegaran ciri khas yang membedakannya dari keraton-keraton lainnya,” paparnya.
Sementara Dr. Sartini mengatakan riset yang dilakukan para mahasiswa ini menggunakan perspektif teori ilmu Filsafat dimana penelitian tersebut berusaha untuk mengungkap dinamika modernisasi yang terjadi di Pura Mangkunegaran melalui perspektif filsafat poskolonialisme dalam teori hibridisasi budaya.
Penulis : Gusti Grehenson
Foto : Kompas.com