Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) diperkenalkan sebagai alat bantu penghitungan suara pada Pemilihan 2020 lalu. Komisi Pemilihan Umum (KPU) menggunakan kembali Sirekap pada Pemilu 2024 ini karena dianggap mampu menghadirkan transparansi. Center for Digital Society (CfDS) UGM pun menyoroti Sirekap sebagai bagian dari pengukuran integritas Pemilu 2024 dalam serial Digital and Election Issues (DESUS) pada Jumat (8/3).
Teknologi informasi memegang peran penting dalam menjalankan pemilu dari tahun ke tahun. Luasnya wilayah Indonesia dengan 270 juta penduduk menyebabkan proses pemungutan suara secara serentak perlu dilakukan secara efektif dan efisien. Sejak Pemilu 2004, pemerintah telah memberlakukan sistem e-Rekap menggunakan Virtual Private Network (VPN). teknologi pun terus dikembangkan dengan berbagai evaluasi untuk merekap suara masyarakat, mulai dari scan formulir C1 dan data entri, hingga penggunaan Optical Character Recognition (OCR) dan Optical Mark Recognition (OMR).
Aplikasi Sirekap yang dapat diakses oleh Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) melalui android dan website, kemudian data akan langsung terkirim ke KPU. Aspek transparansi ini menjadi alasan KPU menggunakan Sirekap dibanding Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng). Sayangnya, pada hari pemungutan suara banyak KPPS yang mengaku mengalami kendala mengakses Sirekap. “Banyak yang memberikan keluhan terkait Sirekap yang tidak bisa diakses, bahkan tidak bisa digunakan pada hari pemungutan suara. Akhirnya KPPS memutuskan untuk mengunggah C hasil ke Google Drive. Jumlah suara sah di TPS juga terdata lebih tinggi dibanding jumlah pemilih per TPS,” terang Nurul Amalia Salabi, Program Officer Yayasan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Setiap unggahan hasil pemungutan suara KPPS akan melalui proses verifikasi sebelum ditampilkan dalam diagram hasil pemilu di website KPU. Tetapi karena terjadi penumpukan data yang belum terverifikasi, maka beberapa data masih terhambat untuk ditampilkan, sehingga KPU menutup diagram hasil pemilu sementara. Hal ini sempat menjadi perbincangan publik di platform X terkait permasalahan Sirekap secara teknis. Data menyebutkan bahwa 85% sentimen negatif terhadap Sirekap disampaikan publik dalam 90,380 ribu cuitan.
“Kelemahan Sirekap ini tentunya berpengaruh terhadap kepercayaan publik terhadap KPU. Netizen mengkritik Sirekap karena adanya kesalahan dalam konversi data, hal ini menyebabkan ketidaksesuaian data yang ditampilkan. Ada juga kritik tentang dugaan kecurangan sistem, kekurangan aplikasi, kritik terhadap KPU, ketidaktransparan, kritik terhadap integritas data, kritik terhadap keamanan, dan beberapa pengalaman pribadi terkait Sirekap,” papar Amalia.
Menurut peneliti CfDS, Iradat Wirid, salah satu aspek penting untuk menilai integritas pemilu adalah transparansi. Sosialisasi terkait Sirekap sejak awal belum disampaikan dengan baik di publik. Hasil pemilu sementara yang ditampilkan di website KPU pun tidak dijelaskan kalau penghitungan tersebut bukan hasil akhir. Isu-isu Sirekap juga tidak direspon dengan baik oleh KPU. Akibatnya, timbul kegaduhan pada publik dan berujung munculnya sentimen-sentimen negatif terhadap KPU sendiri.
“Selama ini asumsi publik kalau menggunakan teknologi saya kira bisa jauh lebih irit. Ketika tidak ada press release, kemudian ketika dikonfrontasi tidak bisa menanggapi isu-isu tersebut dengan baik. Sekarang justru diagram hasil pemilu tersebut dihapus, ini justru mengurangi transparansi karena publik merasa ada yang disembunyikan,” jelas Iradat.
Penulis: Tasya