Harga beras di Indonesia mengalami kenaikan yang signifikan dalam beberapa waktu terakhir. Bahkan, kenaikan harga beras mencapai Rp18.000 per Kg pada akhir bulan Februari 2024 menjadi rekor tertinggi sepanjang sejarah perberasan di tanah air. Kenaikan tersebut melampaui harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan oleh pemerintah.
Menanggapi fenomena tersebut Pusat Pusat Kajian Pengentasan Kemiskinan dan Ketimpangan (EQUITAS) Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM menyampaikan hasil kajian terkait perberasan nasional. Koordinator EQUITAS FEB UGM, Wisnu Setiadi Nugroho, Ph.D., menyampaikan bahwa kenaikan harga beras akan menghambat kemajuan ekonomi. Banyaknya perantara antara petani dan konsumen secara signifikan berkontribusi pada kenaikan substansial harga beras di Indonesia.
“Hal tersebut menyebabkan harga beras tertinggi dalam sejarah,” tutur Wisnu, Rabu (24/4) di Kampus FEB UGM.
Katadata 2023 mencatat pada tahun 2022/2023, Indonesia mengonsumsi 35,3 juta metrik ton beras. Sementara itu data CNBC 2023 menunjukkan 98,35% masyarakat Indonesia mendorong peningkatan yang berkelanjutan ini, termasuk beras dalam pola makan mereka. Namun demikian, lonjakan harga beras baru-baru ini berdampak besar pada sejumlah besar individu, terutama mereka yang berasal dari rumah tangga miskin. Seperti yang dilaporkan oleh Badan Pusat Statistik Indonesia (BPS) pada Februari 2024, harga beras premium di Indonesia mengalami fluktuasi menjadi Rp14.525 per kilogram. Hal ini menunjukkan kenaikan 8,82% dibandingkan dengan bulan Desember 2023 dan lonjakan substansial sekitar 22,91% dibandingkan dengan harga pada bulan Februari 2023.
“Harga beras mengalami peningkatan sebesar 19,38 persen di wilayah perkotaan dan 23,04 persen di wilayah pedesaan. Kesenjangan tersebut menegaskan bahwa dampak dari rantai pasokan yang kompleks terhadap keterjangkauan harga beras di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya,” urai Dosen pada Departemen Ilmu Ekonomi FEB UGM ini.
Menelusuri Pengaruh Kenaikan Harga Beras
Wisnu menjelaskan terdapat berbagai faktor yang memengaruhi kenaikan harga beras. Beberapa diantaranya seperti kelangkaan pasokan dan meningkatnya permintaan. Dalam kasus Indonesia, volatilitas juga merupakan faktor yang berkontribusi pada kenaikan harga. Ketidakstabilan dalam ketersediaan sering kali berasal dari tantangan logistik dan produksi yang tidak mencukupi. Secara logistik, Indonesia sebagai negara berkembang bergulat dengan tantangan-tantangan yang terus-menerus. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Reardon dan Timmer (2012) mengungkapkan bahwa di negara-negara berkembang, rantai pasokan dicirikan oleh panjangnya geografis dan perantara yang relatif pendek.
Wisnu kembali menegaskan bahwa banyaknya perantara antara petani dan konsumen berkontribusi secara signifikan terhadap kenaikan harga beras yang cukup besar di Indonesia. Fenomena ini menyebabkan harga beras di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya. Misalnya di India, kisaran harga beras berkisar antara Rp10.140 – Rp32.136 per kilogram. Berikutnya, di Cina, kisaran harga beras berkisar antara Rp12.012 – Rp23.868 per kilogram.
Kesenjangan tersebut dikatakan Wisnu menunjukkan dampak rantai pasok yang kompleks terhadap keterjangkauan harga beras di Indonesia dibandingkan dengan berbagai negara berkembang lainnya. Kompleksitas logistik yang dihadapi Indonesia mencakup infrastruktur transportasi yang tidak memadai, kurangnya fasilitas penyimpanan, dan kesulitan dalam koordinasi di antara berbagai pelaku dalam rantai pasok. Berbagai tantangan itu mengakibatkan penundaan, inefisiensi, dan peningkatan biaya yang pada akhirnya meningkatkan harga beras. Kurangnya keuntungan yang tersedia bagi petani beras adalah faktor signifikan lain yang berkontribusi pada lonjakan harga beras.
Lebih lanjut Wisnu menjelaskan kondisi tersebut dapat dilihat dari penelitian yang dilakukan oleh Ceballos, Hernandez, Minot, dan Robles yang menekankan bahwa pasar beras dunia dicirikan oleh pasokan yang tidak stabil dan tidak dapat diandalkan (Krisnamurthi & Utami, 2022). Penelitian menyoroti dua faktor utama yang berkontribusi pada rendahnya produksi beras di Indonesia yaitu proses mekanisasi yang lamban dan terbatasnya investasi untuk penelitian dan pengembangan. Sementara Dawe, Timmer, dan Warr (2014) menekankan ketidakakuratan data produksi beras yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertanian, dan mengaitkannya dengan masalah estimasi. Baik BPS maupun Kementerian Pertanian menggunakan survei ubinan dan pendekatan eye estimate untuk menilai luas lahan yang dibudidayakan yang berujung pada estimasi yang terlalu tinggi. Beberapa studi menunjukkan adanya overestimasi yang signifikan dengan kelebihan estimasi sebesar 17 persen untuk produksi beras dan luas lahan panen pada tahun 1996-1997. Temuan lain menunjukkan adanya kelebihan estimasi sebesar 13 persen untuk total produksi beras pada tahun 2000-2001, seperti yang diidentifikasi oleh Japan International Cooperation Agency (JICA).
Perubahan pola musiman disebutkan Wisnu juga menjadi salah satu faktor yang memperparah fluktuasi tingkat produksi. Dari studi yang dilakukan Ansari dkk. (2023) menunjukkan kerentanan Indonesia terhadap perubahan iklim yang terlihat dari kekeringan berkepanjangan yang terjadi pada tahun 2024 sehingga menyebabkan penundaan masa panen. Gangguan tersebut dan peningkatan permintaan beras yang didorong oleh siklus politik meningkatkan tekanan pada rantai pasokan yang sudah cukup ketat. Para calon legislatif membeli beras dalam jumlah besar untuk dibagikan kepada para pemilih sebagai upaya meningkatkan daya tarik elektoral mereka. Kondisi tersebut semakin membebani rantai pasokan dan memperburuk tekanan permintaan.
Strategi Mengurangi Dampak Kenaikan Harga Beras
Sementara Jamilatuzzahro, M.Si., yang juga peneliti EQUITAS FEB UGM mengatakan pemerintah Indonesia telah mengadopsi pendekatan beragam untuk menjaga keterjangkauan dan aksesibilitas beras. Ada empat strategi utama yang dibuat untuk mengatasi kenaikan harga beras yakni operasi pasar, program beras untuk keluarga miskin (Raskin), pengadaan dalam negeri, dan impor. Program Raskin membedakan dari inisiatif-inisiatif lainnya dengan tidak secara langsung memengaruhi dinamika pasar. Sebaliknya, program ini secara eksklusif didedikasikan untuk meningkatkan aksesibilitas beras bagi keluarga miskin dengan menyediakan beras bersubsidi bagi rumah tangga berpenghasilan rendah sehingga menjamin ketahanan pangan mereka. Sebaliknya, melalui operasi pasar, pemerintah berupaya menstabilkan harga beras dengan melepas beras dalam jumlah tertentu ke pasar dengan harga yang telah ditentukan. Intervensi strategis ini bertujuan untuk mencapai stabilitas harga dan menjamin bahwa beras tetap berada dalam jangkauan keuangan masyarakat.
Berikutnya, pengadaan dalam negeri untuk mengatasi masalah pasokan beras biasanya digunakan hanya dalam kondisi tertentu. Hal itu dilakukan terutama ketika tantangan yang ada hanya terletak pada sisi permintaan. Agar bisa berjalan, pengadaan dalam negeri membutuhkan setidaknya satu atau beberapa provinsi yang memiliki surplus beras yang dapat dialokasikan ke provinsi yang mengalami defisit.
“Pendekatan ini umumnya lebih cocok untuk mengatasi fluktuasi permintaan daripada kekurangan produksi,” jelasnya.
Selanjutnya, opsi terakhir untuk mengatasi kenaikan harga beras adalah mengimpor beras dari negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam. Impor ini bertujuan untuk memoderasi harga pasar domestik dengan memanfaatkan harga beras impor yang secara historis lebih rendah daripada beras lokal untuk menstabilkan harga. Hanya saja, impor ini bisa jadi sensitif dari segi politik karena berpotensi menimbulkan dampak pada pertanian dan petani dalam negeri yang terancam menghadapi persaingan dari beras impor yang lebih murah. Oleh karena itu, peraturan-peraturan seputar impor beras sering kali dirancang untuk melindungi pertanian dalam negeri dan menjaga ketahanan pangan dengan memperkecil ketergantungan pada sumber-sumber eksternal.
Upaya Mengatasi Gejolak Harga
Jamilatuzzahro menyebutkan kegagalan untuk mengenali kompleksitas yang terjadi dapat menyebabkan kebijakan yang tidak efektif yang justru meningkatkan volatilitas alih-alih menguranginya. Menurutnya, dalam jangka pendek perlu dilakukan impor terencana dan operasi pasar yang terkendali. Kedua langkah tersebut menjadi strategi penting yang dapat dijalankan. Disamping itu, memperbaiki sistem informasi pasar untuk mengurangi volatilitas harga akan membantu pemerintah mengelola dan merespons risiko yang terkait dengan harga, cuaca, atau bahaya lainnya.
“Impor dan operasi pasar yang terencana atau terjadwal juga dapat meminimalisir tindakan spekulatif dari para pelaku pasar yang tidak bertanggung jawab,” tuturnya.
Sementara dalam jangka panjang, petani kecil akan diberdayakan melalui akses terhadap teknologi. Data dari McKinsey (2020) memperkirakan bahwa penggunaan teknologi modern di sektor pertanian dapat meningkatkan hasil ekonomi hingga US$6,6 miliar per tahun. Teknologi panen modern dianggap sebagai teknologi yang menguntungkan dan dapat melakukan pekerjaan banyak orang dalam waktu singkat dengan lebih tepat dan akurat dibandingkan dengan panen secara tradisional.
Langkah berikutnya adalah dengan meningkatkan jalur logistik dengan memotong perantara dapat menjadi langkah signifikan untuk meningkatkan efisiensi dan pemerataan distribusi beras di Indonesia. Hubungan langsung antara petani dan penggilingan dapat difasilitasi melalui platform teknologi atau koperasi petani. Dengan membangun jalur langsung, petani dapat menegosiasikan harga yang adil untuk hasil panen mereka sambil memastikan penggilingan mendapatkan beras dengan harga yang kompetitif sehingga mengurangi ketergantungan pada tengkulak.
Tidak kalah penting, Jamilatuzzahro menambahkan pembangunan Infrastruktur berperan penting untuk mengatasi gejolak harga beras di tanah air. Pasalnya, pembangunan jalan, jaringan transportasi, dan fasilitas penyimpanan dapat mengurangi biaya transportasi dan meningkatkan efisiensi distribusi beras. Dengan meningkatkan infrastruktur, kebutuhan akan tengkulak yang sering kali mengenakan biaya tinggi untuk layanan transportasi dan penyimpanan dapat dikurangi.
“Dengan begitu bisa memudahkan distribusi beras dari lahan pertanian ke pasar dengan lebih cepat dan hemat biaya,” pungkasnya.
Penulis: Wisnu Setiadi Nugroho dan Jamilatuzzahro
Foto ilustrasi: freepik.com