Sampah hingga saat ini masih menjadi persoalan serius bagi masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Gagasan tentang ekonomi sirkular pun digaungkan oleh pemerintah sebagai salah satu solusi untuk mengurai permasalahan sampah ini. Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM sekaligus pakar ekonomi sirkular, Luluk Lusiantoro, S.E., M.Sc., Ph.D., menekankan pentingnya mengubah cara pandang atau mindset semua pihak dalam mengelola sampah baik oleh masyarakat sebagai konsumen maupun pelaku bisnis atau perusahaan sebagai produsen. Menurutnya, dalam memahami persoalan sampah ini tidak hanya sekedar tentang pengelolaan sampah saja namun sistem secara keseluruhan.
“Jadi ketika berbicara soal sampah ini perlu dilihat dari perspektif sistem. Tidak hanya tentang sampah di jalanan maupun TPA, tetapi bagaimana pengelolaan dan output-nya jika sudah dikelola tidak menyisakan sampah lagi,” jelasnya, Kamis (21/3) di Kampus FEB UGM.
Luluk mengatakan bahwa ekonomi sirkular mengandung arti sampah yang dihasilkan dari konsumsi kembali lagi ke produksi sehingga tidak ada sampah yang dihasilkan. Ekonomi sirkular bisa dimulai melalui cara sederhana seperti memilah sampah 3R (reduce, reuse, recyle) dari sumbernya baik sampah yang dihasilkan dalam level rumah tangga, maupun fasilitas publik sebagai konsumen hingga perusahaan selaku produsen.
“Kalau mau dikelola dengan baik, harus memilah sampah dari sumbernya, itu basic-nya,”tuturnya. Hanya saja, perilaku untuk melakukan pemilahan sampah ini masih menjadi persoalan. Ia mencontohkan, tidak sedikit rumah tangga yang belum sadar melakukan pemilahan sampah. Kondisi tersebut terjadi karena tidak adanya sistem insentif bagi pelaku yang berhasil memilah sampah. Demikian halnya dengan perusahaan atau industri maupun berbagai tempat fasilitas publik masih banyak yang belum melakukan pemilahan sampah dan hanya menyerahkan pada rekanan untuk pengolahan sampah.
Oleh sebab itu Luluk memandang selain menggalakkan edukasi soal pemilahan sampah, perlu adanya pemberian insentif untuk mendorong perubahan perilaku memilah sampah baik pada tataran rumah tangga maupun industri. Ke depan diharapkan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) bukan lagi menjadi pilihan bagi masyarakat. Salah satu praktik baik pemberian insentif bagi individu atau rumah tangga yang melakukan pemilahan sampah sudah dilakukan di Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul, DIY.
“Rumah tangga yang memilah sampah akan diberikan insentif oleh pengelola sampah. Sampah yang memiliki nilai jual akan dihitung dan nanti diberikan insentif. Hasilnya bisa untuk memotong pembayaran iuran sampah, sedangkan yang tidak mau memilah sampah dalam kondisi maka pembayaran iuran sampahnya otomatis akan lebih mahal,” paparnya. Luluk menyebutkan edukasi pada petugas pengumpul sampah juga perlu dilakukan. Sebab, hingga saat ini masih banyak yang menerapkan praktik mencampur kembali sampah yang telah dipilah dari sumber saat berada dalam mobil pengangkut sampah. Hal ini menjadikan timbulnya proses pemilahan kembali di TPS 3R.
“Alurnya jika dari perspektif ekonomi sirkular atau rantai pasokan, dari segi sistim tidak hanya pengelolaan sampah. Namun bagaimana sampah produk sebuah bisnis maka produk yang dihasilkan menjadi tanggung jawab bukan hanya konsumen saja, tetapi juga perusahaan yang memproduksi. Produsen bertanggung jawab atas sampah yang dihasilkan bahkan setelah dikonsumsi oleh konsumen kembali lagi ke sistem produksi,” urai dosen Departemen Manajemen FEB UGM ini.
Luluk memaparkan langkah-langkah tersebut tentunya bukanlah hal yang mudah. Dalam pandangannya perlu dikembangkan infrastruktur yang baik untuk menangani produk sampah agar dapat berjalan secara efisien. Ia mencontohkan ekonomi sirkular bisa dilakukan dengan menciptakan produk dari sampah untuk selanjutnya digunakan kembali. Contoh lain dengan mempraktikkan konsep mindful consumption yakni berpikir secara sadar atas konsekuensi konsumsi yang dilakukan. Mempraktekkan konsep ini dengan melihat urgensi sebuah produk, apakah merupakan kebutuhan atau sekedar keinginan. Meskipun menjadi hal yang tidak mudah, masyarakat seyogyanya dapat menerapkan konsep mindful consumption. Pasalnya, saat konsumsi berlebihan akan menghabiskan sumber daya yang berimbas pada semakin menipisnya ketersediaan sumber daya alam yang ada.
“Harus ada kesadaran dari konsumen sehingga konsumsinya dapat dibatasi yang dibutuhkan saja,” imbuh pria yang menginisiasi platform pendidikan ekonomi sirkular ekonomisirkular.id ini. Hanya saja ketika konsumen sudah mengimplementasikan mindful consumption akan berdampak pada perekonomian yang lebih luas. Oleh sebab itu, model bisnis yang dijalankan oleh perusahaan juga bisa menyesuaikan. Dari segi bisnis, pelaku usaha atau produsen diharapkan dapat mengubah model bisnis yang dilakukan. Misalnya, model bisnis yang dijalankan dengan prinsip kepemilikan diubah menjadi persewaan. Sebagai contoh alat-alat pertukangan dalam rumah tangga yang hanya digunakan sesekali dan lebih banyak disimpan, ujungnya hanya akan menghasilkan sampah. Sementara dengan model bisnis persewaan maka kepemilikan produk akan melekat di perusahaan sehingga saat masa sewa habis akan kembali ke perusahaan untuk bisa disewakan atau bahkan di daur ulang. Perusahaan diharapkan bisa mengambil peluang dari paradigma ekonomi sirkular ini.
Luluk menambahkan pemerintah maupun LSM juga memiliki peran krusial untuk mendukung penerapan ekonomi sirkular di tanah air. Menurutnya, saat ini perlu ada desain kebijakan atau regulasi untuk mendorong praktik ini dilakukan di masyarakat. Sebab, saat ini di Indonesia belum ada kebijakan yang mengikat, baru sebatas himbauan terkait penerapan ekonomi sirkular sebagai upaya mengatasi persoalan sampah. “Desain untuk ini harus ada. Misal pemerintah mewajibkan dalam menjalankan bisnis perlu ada standar pengelolaan sampah yang baik disertai dengan pelaporan yang berkelanjutan. Penerapan ekonomi sirkular ini bisa dimulai dari perusahaan berskala besar,” ujarnya.
Lebih lanjut Luluk mengatakan bahwa desain yang dikembangkan harus masif. Pemerintah perlu melakukan edukasi terkait ekonomi sirkular di masyarakat. Hal tersebut bisa dilakukan sejak dini mulai level pendidikan SD, misalnya dengan mengembangkan satu pelajaran khusus tentang ekonomi sirkular untuk memengaruhi cara berpikir masyarakat secara luas. “Harus mulai berubah perilaku konsumsinya sehingga akan lebih cepat mengubah sistem ekonomi yang lebih sirkular,” pungkasnya.
Penulis: Humas FEB; Editor: Ika
Foto: Freepik.com