Beberapa komoditas pokok pertanian di masyarakat saat ini mengalami kenaikan harga. Sebagai contoh kenaikan harga pada kedelai impor. Informasi dari sebagian masyarakat menyampaikan bahwa telah terjadi kenaikan pada kedelai impor dari harga biasa sekitar 10.000 rupiah per kilogram menjadi 11.000 ribu per kilogram. Bahkan sempat mencapai harga titik tertinggi 13.000 ribu per kilogram meskipun kemudian mengalami penurunan kembali.
Menurut Bayu Dwi Apri Nugroho, STP., M.Agr., Ph.D, pakar agrometeorologi, ilmu lingkungan dan perubahan iklim UGM, ketergantungan para podusen lokal menggunakan kedelai impor karena memang pasokan kedelai lokal masih sangat kurang. Kebutuhan akan kedelai tahunan di Indonesia mencapai 2,7 juta ton, sedangkan produksi dalam negeri berada dalam kisaran 355 ribu ton.
Hal tersebut otomatis untuk mencukupi kebutuhan nasional diperlukan pengadaan kedelai dari luar. Di sisi lain, kondisi perekonomian global baru tidak dalam posisi menguntungkan dimana nilai tukar rupiah terhadap dolar menurun dan biaya angkut dari negara asal ke Indonesia mengalami kenaikan.
“Tentu saja semua berimbas pada harga kedelai impor yag beredar di pasaran,” ujarnya di Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Jumat (24/11).
Secara kebetulan, kata Bayu, terjadinya kenaikan harga kedelai dunia juga disebabkan karena beberapa negara penghasil kedelai seperti Amerika Serikat dan Brasil masih belum memasuki masa panen. Negara-negara tersebut baru akan panen di sekitar bulan Desember 2023 – Januari 2024.
“Belum lagi saat ini beberapa negara penghasil kedelai juga melakukan pembatasan ekspor. Artinya kedelai yang diekspor mengalami penurunan, dan tentunya berimbas pada kenaikan harga di negara-negara pengimpor,” terangnya.
Kondisi pembatasan ekspor oleh negara-negara penghasil kedelai juga diakibatkan poduksi kedelai di dalam negeri mereka sedang mengalami penurunan. Salah satu faktor penyebab adalah terjadinya dampak perubahan iklim. Kondisi iklim yang berubah, disebutnya, menyebabkan produksi kedelai di negara-negara penghasil kedelai tidak maksimal.
“Fenomena El Nino, sebagai salah satu indikator perubahan iklim tahun 2023 menjadi faktor penyebab terjadinya penurunan produksi di berbagai negara penghasil kedelai,” tuturnya.
Lantas bagaimana Indonesia harus menyikapi dengan kenaikan harga kedelai tersebut? Menurut Bayu beberapa langkah yang mungkin bisa ditempuh adalah pemberian subsidi dari pemerintah agar harga-harga kedelai tetap terjaga pada harga yang stabil.
Meski begitu, ia menyebut tetap diperlukan berbagai solusi untuk jangka menengah dan panjang. Langkah-langkan tersebut diantaranya mengembangkan varietas-varietas kedelai unggul yang sesuai dengan kondisi lingkungan di Indonesia.
“Karena kita tahu kedelai ini sangat cocok ditanam di kondisi iklim sub tropis. Meski begitu untuk di Indonesia dengan iklim tropis bisa juga tumbuh walaupun hasilnya tidak maksimal,” ungkapnya.
Langkah berikut yang bisa dilakukan adalah dengan memanfaatkan atau mengoptimalkan lahan-lahan yang ada. Ini perlu dilakukan karena kedelai yang ditanam di Indonesia bukan merupakan tanaman utama, namun sebagai tanaman sela.
“Artinya bisa ditanam di musim tanam (MT3) setelah tanaman pangan dalam hal ini padi atau jagung,” urainya.
Bayu berpendapat suatu ketika diperlukan lahan-lahan khusus, yaitu lahan yang memang dipersiapkan untuk menanam komoditas kedelai dan tidak lagi menjadi tanaman komoditas sela. Diperlukan pula penguatan ekosistem kedelai nasional dari hulu sampai hilir secara masif dan serius yang di koordinir oleh pemerintah maupun swasta sehingga ada peningkatan produksi dan terjaganya kestabilan harga di tingkat petani.
“Saya kira pelibatan stakeholder seperti petani, pemerintah daerah, lembaga peneilitian atau perguruan tinggi, perbankan dan offtaker menjadi kunci keberhasilan dalam ekosistem kedelai nasional,” imbuhnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : freepik.com