Peradilan militer merupakan salah satu upaya untuk menegakkan keadilan dan menjaga kredibilitas di bidang kemiliteran. Kewenangan peradilan militer berlaku bagi siapapun, secara personal, merupakan anggota militer. Sedangkan dalam Undang-Undang TNI Pasal 65 Ayat 2 disebutkan, Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer. Dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang. Hal ini menimbulkan pertanyaan terkait batasan wewenang peradilan militer.
Mengangkat isu tersebut, Fakultas Hukum UGM menggelar Seminar Nasional bertajuk “Kewenangan Absolut Pengadilan Militer dalam Mengadili Tindak Pidana yang Dilakukan oleh Personil Militer” pada Senin (23/10). “Kita bisa melihat kewenangan peradilan militer dari peraturan yang telah ada sebelumnya. Dilihat dari aspek tindak pidananya, peradilan militer berwenang mengadili seluruh tindak pidana, baik tindak pidana militer yang tercantum dalam KUHP militer, maupun tindak pidana umum. Sedangkan kalau dari aspek pelaku, itu bisa dilihat apakah dia berstatus militer atau tidak. Tapi pengadilan militer juga berhak mengadili sipil dengan syarat tertentu,” ucap Dr. Supriyadi, S.H., M.Hum., Pakar Hukum Pidana Militer dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
Paradigma kewenangan tersebut pun kemudian berubah setelah disahkannya TAP MPR No. VII/MPR/2000. Dalam aturan tersebut disebutkan bahwa pengadilan militer hanya boleh mengadili pelanggaran hukum militer. Sedangkan pelanggaran hukum umum, meskipun pelakunya merupakan militer, harus diadili oleh pengadilan umum. Namun, terdapat dua syarat yang harus terpenuhi sebelum aturan baru tersebut berlaku. Pertama, pengadilan umum harus sudah siap untuk melakukan serangkaian proses penyelidikan, kejaksaan, hingga pengadilan dalam konteks pelaku militer. Kedua, aturan hanya akan berlaku jika pengadilan militer telah membentuk UU baru yang menggantikan UU No. 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer.
Marsekal Muda TNI (Purn) Dr. Sujono, S.H., M.H., CFrA. menjelaskan, peran pengadilan militer sangat penting untuk menjaga kredibilitas dan penegakan hukum TNI. Ketika seorang TNI melakukan tindak pidana baik militer maupun umum, dan tidak mendapatkan pemecatan, maka ia diharapkan kembali ke militer dengan kondisi integritas TNI. Sedangkan pengadilan militer dan pengadilan umum memiliki sistem pembinaan narapidana yang berbeda. Itulah mengapa pengadilan militer memiliki urgensi tinggi untuk mengadili tindak pidana militer, dan pelaku militer.
“Terkait kebijakan hukum acara koneksitas, di mana pelakunya adalah sipil dan militer, ini belum diimplementasikan. Dalam kasus Basarnas kemarin, kan ada konektivitas di sana. Tetapi diproses secara masing-masing. Yang sipil diperiksa oleh kepolisian, yang satu diperiksa oleh polisi militer. Tetapi yang muncul di publik adalah prajurit TNI agar tunduk pada peradilan umum jika melakukan tindak pidana umum dengan mengangkat Pasal 65. Tetapi tidak ada yang mengkritisi, kenapa tidak ditegakkan pengadilan konektivitasnya saja,” tutur Sujono.
Ia menambahkan, isu ini muncul karena ada kesan bahwa pengadilan militer itu tertutup. Padahal, pengadilan militer juga bersifat terbuka seperti pengadilan pada umumnya, kecuali dalam perkara yang menyangkut rahasia militer dan negara. Sujono juga menekankan, TNI memiliki mandat besar untuk menjadi garda terdepan dalam melindungi NKRI. Karena itulah, setiap anggota TNI harus ditindak secara militer jika melakukan tindak pidana. Maka penting bagi pengadilan militer untuk tetap memiliki otoritas absolut terhadap TNI.
Penulis: Tasya
Foto: ditmil-manado.go.id