Perkembangan dunia digital telah memberikan perubahan pada aktivitas dan kebiasaan masyarakat. Kemudahan bertransaksi, arus informasi, serta jarak dan waktu yang tidak terbatas mengantarkan kita pada era digital. Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia pada 2023, tercatat 215 juta orang Indonesia adalah pengguna internet. Dampak positif maupun negatif dari digitalisasi tidak dapat terhindarkan, termasuk dalam kebiasaan digital. Center for Digital Society (CfDS) UGM mengulas isu ini dalam tajuk Difussion #106 bertajuk “Kesejahteraan Digital: Langkah Praktis Mengelola Keseimbangan Mental” pada Selasa (13/2).
“Teknologi digital memberikan dampak terhadap kesejahteraan dan pemahaman dari kita tentang apa artinya menjalani kehidupan yang baik bagi kita sebagai masyarakat, yang semakin digital. Ternyata sebagian besar dari publik sebenarnya sudah tahu tentang digital wellbeing, contohnya aplikasi pendeteksi dan mengurangi screen time. Tapi apakah itu betul-betul efektif di masa depan,” papar Rizka Herdiani, Peneliti CfDS. Ia menyebutkan paparan digital sejak pandemi yang meningkat terbukti membentuk karakter dan kebiasaan digital baru.
Salah satu gejala yang banyak ditemui adalah perasaan akan ketertinggalan informasi atau Fears of Mission Out (FOMO). Gejala ini ditemukan oleh kalangan pengguna internet aktif, khususnya anak muda. Meskipun istilah FOMO biasa digunakan hanya untuk menjelaskan sikap seseorang, namun gejala ini dapat berujung pada kondisi yang lebih parah. Contohnya, perasaan cemas apabila tidak memegang gawai, atau perasaan takut tertinggal informasi hingga memengaruhi keseimbangan mental. Inilah mengapa digital wellbeing atau kesejahteraan digital penting dipahami.
Sayangnya, kebiasaan digital yang baik masih sangat bergantung pada kebiasaan pengguna. Regulasi dan fitur pada platform digital belum mampu menghalau atau setidaknya mendukung kebiasaan digital yang sehat. “Seringkali pengguna ketika menemukan konten yang tidak disukai, dan mungkin sudah melakukan pengaturan agar konten tersebut tidak muncul lagi, ternyata masih muncul. Jadi kita tidak bisa mengandalkan sepenuhnya pada aplikasi, lagi-lagi bergantung pada pengguna. Tapi tetap saja, hal ini harus menjadi pertimbangan perusahaan-perusahaan platform digital tersebut,” tambah Rizka.
Digital Wellbeing tidak hanya seputar kebiasaan baik sebagai pengguna dunia digital. Kesejahteraan digital dapat diterapkan dengan bagaimana digitalisasi atau layanan digital mampu mendukung kebiasaan sehat dalam pola hidup masyarakat. Anis Fuad, S.Ked.,DEA, Dosen Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM menjelaskan, digitalisasi saat ini memberikan pengaruh kuat terhadap pelayanan kesehatan. Sebelum adanya aplikasi, masyarakat umumnya mengantri di unit-unit kesehatan selama berjam-jam, namun sekarang hal itu dapat dihindari dengan pendaftaran awal melalui aplikasi.
“Ada riset menarik dalam topik ini, bahwa internet memiliki fungsi untuk mendukung pola hidup sehat. Contohnya aplikasi penghitung langkah kaki, detak jantung, atau pengingat waktu tidur. Kemudian healthy mind, bagaimana ukuran mental kita. Ukuran-ukuran seperti ini mulai dimanfaatkan sebagai aspek penting dalam menjaga kesehatan,” ucap Anis. Salah satu inovasi yang dikembangkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan adalah aplikasi Electronic Health Record (EHR) untuk memantau rekam medis individu. Melalui aplikasi tersebut, masyarakat dapat melakukan pencatatan kunjungan rumah sakit, data screening kesehatan, bahkan resiko penyakit secara mandiri.
Perwujudan digital wellbeing penting untuk ditekankan kembali pada masyarakat digital era ini. Selain untuk mendukung pola hidup sehat, digital wellbeing menjadi bagian dari 17 Tujuan Pembagunan Berkelanjutan, yakni poin 3 tentang kehidupan sehat dan sejahtera. Harapannya, digitalisasi mampu menghimbau masyarakat untuk lebih peduli pada kesehatan jiwa dan raga dengan memanfaatkan kemudahan teknologi.
Penulis: Tasya