Kasus kekerasan pada anak terus meningkat. Berdasarkan laporan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) pada tahun 2023 tercatat sebanyak 3.547 kasus kekerasan terjadi di Indonesia. Angka ini merupakan peningkatan sebesar 30% dari tahun sebelumnya. Ironisnya, mayoritas kekerasan tersebut banyak terjadi di lingkup keluarga, yakni sebesar 35%. Bahkan dari hasil berbagai penelitian juga menyebutkan, kekerasan pada anak justru dilakukan oleh orang dewasa terdekat. Pada banyak kasus, pelaku merupakan orang tua, guru, pengasuh, bahkan sesama anak sendiri dapat melakukan tindak kekerasan.
“Kekerasan pada anak bisa dilakukan oleh siapa saja, sayangnya menurut penelitian banyak dilakukan oleh orang-orang dewasa terdekat yang justru seharusnya bisa menjadi pelindung dari anak tersebut,” terang Psikolog Klinis dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM, Dr. Indria Laksmi Gamayanti, menanggapi maraknya fenomena kasus kekerasan pada anak yang terjadi belakangan ini, Selasa (2/4), di Kampus UGM.
Gamayanti menyebutkan ada tiga macam bentuk kekerasan pada anak, yaitu kekerasan fisik, kekerasan emosi, dan kekerasan seksual. Saat anak terjadi kekerasan fisik dan kekerasan seksual, pasti diikuti dengan kekerasan emosi atau psikis. Meski begitu, kekerasan yang paling banyak terjadi dan belum banyak disadari adalah kekerasan emosi. Kondisi di mana anak mendapatkan ujaran kemarahan, kebencian, penghinaan, dan bentuk kekerasan verbal lainnya. Yang sangat disayangkan, pelaku kekerasan yang paling banyak melakukan justru berasal dari orang terdekat anak, khususnya orang tua dalam hal pola asuhnya. “Secara psikologis, pelaku kekerasan cenderung memiliki gangguan kesehatan mental dalam dirinya sendiri. Faktor pemicu dari tendensi tindakan kekerasan pada pelaku juga bermacam-macam, mulai dari kesiapan mental orang tua, kondisi ekonomi, hingga pengalaman kekerasan serupa di masa kecil,” jelasnya.
Orang dewasa yang melakukan kekerasan pada anak ini umumnya adalah orang-orang yang tidak matang secara emosi. Bahkan mungkin saja orang yang semasa kecilnya juga menerima tindakan kekerasan. Padahal ketika seseorang mengalami kekerasan di masa kecil, maka ada potensi ia akan melakukan kekerasan yang lebih parah ketika beranjak dewasa. “Bayangan masa lampau atau trauma masa kecil orang tua memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk melakukan tindakan kekerasan serupa atau lebih terhadap anaknya,” tutur Gamayanti.
Tak hanya oleh orang dewasa, kekerasan juga dapat terjadi pada sesama anak. Bentuk kekerasan ini banyak ditemui dalam kasus-kasus perundungan pada lingkungan sekolah atau teman bermain. Menurut Gamayanti, penyebab anak melakukan tindakan kekerasan kepada sesamanya juga bisa disebabkan dari lingkungan dan pola asuh orang tua. “Bisa jadi anak tersebut juga menerima kekerasan dari orang tua, atau kurangnya validasi sehingga cenderung mencari validasi pada sesamanya,” tambahnya.
Dalam ilmu psikologi, kekerasan semasa kecil dapat diklasifikasikan sebagai Adverse Childhood Experiences (ACEs) atau pengalaman-pengalaman buruk di masa kecil. Dampaknya, anak akan cenderung memiliki masalah kesehatan mental dan tendensi kekerasan yang tinggi ketika tumbuh dewasa. Berbagai kasus juga menunjukkan gejala yang berbeda. Beberapa anak menjadi pribadi yang pendiam, murung, tercekat, cenderung nakal, sering menangis, bahkan ada yang terlihat baik-baik saja hingga sering disalahartikan sebagai proses penyembuhan trauma yang cepat. Gejala ini banyak luput disadari oleh orang tua, di mana sebenarnya anak membutuhkan penanganan lebih dari dampak kekerasan tersebut.
“Apabila terjadi kekerasan, sebaiknya memberikan penanganan yang tepat dan sesuai dengan kondisi anak. Kalau di psikologi, metode recovery pada anak itu bermacam-macam, ada asesmen yang harus dilakukan untuk memberikan penanganan terbaik. Ada yang membutuhkan perubahan pola asuh, lingkungan yang mendukung, jadi bukan hanya anak sebagai faktornya. Tapi orang tua juga perlu mendapatkan penanganan,” ucap Gamayanti.
Sebagai orang dewasa yang berada di lingkungan tempat anak tinggal, kata Gamayanti, harus dapat memberikan perlindungan terhadap tindak kekerasan. Oleh karena itu, penting untuk menjalin komunikasi yang baik dengan anak, tidak hanya pada anggota keluarga, namun juga orang-orang sekitar. Sebab masa kecil anak merupakan masa pertumbuhan yang krusial untuk membentuk karakter, karenanya diperlukan pengawasan dan pengasuhan yang baik supaya bentuk kelalaian berujung kekerasan tidak terjadi. Yang tidak kalah penting lagi, penerapan pola asuh yang baik secara berkelanjutan akan menghasilkan anak-anak dengan mental dan fisik yang sehat di masa depan.
Penulis: Tasya
Editor: Gusti Grehenson