Indonesia merupakan salah satu produsen batubara terbesar di dunia. Namun begitu, sebagian besar cadangan batubara kita masih didominasi oleh jenis batubara peringkat rendah dengan nilai kalori di bawah 4000 kilokalori per kilogram. Nilai kalori batubara yang rendah ini memiliki nilai harga jual yang rendah dan bahkan tidak laku di pasaran sehingga banyak produsen batubara melakukan peningakatan nilai kalori batubara dengan melakukan upgrading browning coal. Proses ini justru memakan biaya cukup besar sehingga secara ekonomi dianggap kurang efisen.
Di tangan para peneliti dari Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, batubara dengan nilai kalori rendah justru bisa diberikan nilai tambah melalui perlakuan proses grinding, oksidasi dan ekstraksi sehingga bisa menghasikan produk asam humat. Seperti diketahui, asam humat memiliki manfaat di bidang pertanian karena mampu meningkatkan kesuburuan tanah, menyerap unsur hara, retensi air dan meningkatkan kaspasitas pertukaran kation. “Asam humat ini biasa dipakai bersama dengan pupuk untuk meningkatkan kemampuan tanaman dalam menyerap pupuk. Sebab, asam humat bisa memperbaiki kesuburan tanah sehingga pupuk yang diberikan bisa diserap tanaman dengan lebih baik. Jadi, asam humat itu bisa memperbaiki media tanam, sangat penting untuk pertanian,” ujar Prof. Dr. Ferian Anggara, salah satu anggota tim peneliti dari FT UGM dalam wawancara dengan wartawan usai mengikuti penandatanganan nota kesepahaman bersama antara UGM dan PT Bukit Asam, Jumat (15/9), di Auditorium Fakultas Teknik UGM.
Riset teknologi ekstraksi asam humat dari batubara ini diakui Ferian Anggara pihaknya bekerja sama dengan PT Bukit Asam yang diketahui memiliki IUP Peranap dimana terdapat produksi batubara dengan nilai kalori rendah. “Mereka kesulitan untuk menjual produk batubaranya. Salah satu hal yang kami ajukan dengan memanfaatkan batubara peranap tersebut menggunakan ekstraksi asam humat ini,” katanya.
Dari riset yang mereka lakukan, setiap ekstrakasi satu ton batubara peranap mampu menghasilkan 50 persen asam humat (500 kilogram). Padahal, awalnya tim dari Ferian Anggara hanya menargetkan hasil ekstraksi asam humat sebesar 20 persen setiap satu ton batubara peranap. Tidak hanya itu, nilai kalori batubara pun meningkatkan sebesar 20 persen setelah dilakukan ekstraksi. “Jadi, hasil akhir dari ekstraksi asam humat batubara ini ada dua, bisa menghasilkan asam humat yang bisa kita jual dan sisanya batu baranya dengan peningkatan nilai jumlah kalori yang signifikan,” katanya.
Bagi Ferian, teknologi ekstraksi asam humat batubara peranap sejalan dengan program pemerintah untuk peningkatan nilai tambah batubara yang diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 2020. Kerja sama pengembangan teknologi ekstraksi asam humat yang dilaukkan UGM dan Bukit Asama juga menjadi bagian dari usaha percepatan hilirisasi produk asam humat untuk segera diproduksi secara massal dan dipasarkan secara komersial. “Tahun 2024 kami akan membuat prototipe dengan skala produksi asam humat 60 ton per tahun dari batubara peranap di wilayah Riau Tengah,” pungkasnya.
Penulis : Gusti Grehenson
Foto : Donnie Tristan