Fakultas Pertanian UGM beserta Kementerian Pertanian RI, FAO Indonesia dan Pemerintah Daerah Sumba Timur melakukan evaluasi dan koordinasi penanganan serangan belalang kembara di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur.
Evaluasi dilakukan dalam upaya mengatasi serbuan belalang kembara di Pula Sumba. Serangan belalang kembara yang terjadi sangat masif sejak Februari 2023 mengakibatkan kerusakan lahan pertanian dan mengancam ketahanan pangan daerah. Kegiatan evaluasi berlangsung di Kompleks Pemda Sumba Timur pada Rabu (14/12). Dalam rapat evaluasi, hadir Tim Fakultas Pertanian UGM, perwakilan FAO Indonesia, Dirlintan Kementan, perangkat daerah dari 4 kabupaten, para camat serta tokoh masyarakat.
Ketua Tim UGM, Prof. Dr. Andi Trisyono, MSc., menyampaikan pemerintah Sumba Timur bersama-sama dengan UGM, Kementerian Pertanian, dan FAO bekerja sama dan melaksanakan pengendalian belalang kembara secara serempak mulai 6 Februari 2023. Untuk mengendalikan hama ini dibangun sistem berkesinambungan salah satunya pemetaan terhadap lokasi, populasi, serta fase belalang kembara. Lalu, dilakukan upaya pengendalian dengan melakukan penangkapan maupun penyemprotan belalang kembara di daerah yang sudah teridentifikasi dari kegiatan pertama. Berikutnya, evaluasi untuk mengetahui efektivitas teknologi pengendalian yang diterapkan dalam menurunkan populasi belalang kembara dan monitoring serta surveilensi.
“Sistem yang terdiri atas empat kegiatan tersebut perlu menjadi basis dalam manajemen belalang kembara di Pulau Sumba. Dengan begitu perkembanganan populasi hama ini dapat dideteksi seawal mungkin sehingga langkah pengendalian bisa segera dilakukan untuk mencegah outbreak besar di Pulau Sumba di tahun-tahun mendatang,”urainya.
Andi menyebutkan kolaborasi intensif multipihak telah berhasil menekan populasi belalang kembara dengan sangat signifikan. Sebelumnya populasi belalang kembara di bulan Februari 2023 mencapai 24 miliar menurun menjadi 15 juta pada bulan November 2023. Sistem kerja sama multipihak dan pemantaun yang terstruktur, terjadwal serta intervensi yang tepat menjadi kunci sukses penanganan.
Ledakan (outbreak) belalang kembara di Pulau Sumba telah berlangsung sejak tahun 2019 hingga saat ini. Outbreak belalang kembara di Sumba dikatakan Andi salah satunya dikarenakan menurunnya populasi musuh alami baik predator maupun parasitoid. Populasi musuh alami yang rendah menjadikan kemampuan sebagai daya pengendali perkembangan populasi berkurang.
“Kegiatan pengendalian sudah dilakukan sejak meledaknya hama ini di tahun 2019 baik dengan menangkap dan kemudian dimatikan atau menggunakan insektisida. Namun, hama ini terus ada dalam populasi yang sangat besar terutama mulai pada awal musim penghujan (November) kemudian terus meningkat dan puncaknya di sekitar bulan Februari hingga April,”paparnya.
Andi menyebutkan penangkapan belalang kembara dan penyemprotan insektisida ditujukan untuk jangka pendek supaya populasi segera menurun sehingga kerusakan dan kerugian dapat dikurangi/dihindari. Namun, teknologi pengendalian yang lebih ramah lingkungan perlu dicari, dikembangkan, dan diterapkan untuk tujuan jangka menengah dan panjang.
“Keberadaan musuh alami belalang kembara, misalnya burung dan serangga predator menjadi salah satu komponen penting untuk menjaga agar populasi di Pulau Sumba tetap rendah dan tetap pada fase soliter,”jelasnya.
Lebih lanjut Andi mengatakan ada banyak spesies burung di Kabupaten Sumba Timur dan beberapa diantaranya adalah pemakan belalang. Namun, populasi burung predator tersebut sangat rendah sehingga perlu diupayakan untuk melindungi, melestarikan, dan menambah populasi burung predator lokal di Pulau Sumba. Penelitian tentang efektifitas entomopatogen juga sedang berjalan yang nantinya bisa menjadi salah teknologi yang bisa digunakan untuk mengendalikan belalang kembara yang lebih ramah dibandingkan dengan insektisida kimia sintetik.
Penulis: Ika