World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa rabies dan anthrax merupakan penyakit golongan neglected, atau terabaikan yang banyak memakan korban. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan RI, ditemukan 11 kasus kematian akibat rabies yang 95% di antaranya dikarenakan gigitan anjing. Angka ini tentu menunjukkan kedaruratan penanganan virus rabies di Indonesia. Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) UGM pun turut memberikan perhatian terhadap isu tersebut.
“Kalau kita bicara rabies, ini kasusnya sudah lama muncul. Kalau diperhatikan juga perkembangan kasusnya ya itu-itu saja. Tapi entah kenapa, kasus persebaran yang paling sederhana ini justru menjadi masalah. Sampai sekarang ini, menurut catatan WHO, rabies ini dapat menyebabkan kematian 60.000 orang per tahunnya. Dan rabies ini sebenarnya adalah virus yang bisa dikendalikan melalui vaksinasi, tapi implementasinya tidak gampang,” ungkap Dosen FKH UGM, drh. Heru Susetya, MP., Ph.D., dalam Seminar Nasional bertajuk “Kolaborasi Lintas Sektor dalam Pengendalian Rabies dan Anthrax: Tantangan Pengendalian PHMS (Rabies dan Anthrax) di Era Kemudahan Akses Transportasi” pada Sabtu (16/9).
Faktanya, persebaran virus rabies pada manusia sebenarnya termasuk kebetulan, bukan penularan utama. Menurut drh. Heru, ketika virus rabies berada di tubuh hewan, maka umurnya akan jauh lebih panjang ketimbang berada di tubuh manusia. Ketika terserang virus rabies, seseorang akan mengalami gejala awal seperti demam, lesu dan tidak nafsu makan, pusing, insomnia, sakit kepala hebat, hingga timbul rasa panas di area gigitan. Gejala yang timbul ini banyak disalahartikan sebagai penyakit biasa pada umumnya, sehingga banyak pasien yang enggan menuju rumah sakit atau puskesmas untuk mendapat penanganan.
Kasus kematian akan rabies sendiri ditemukan hampir di seluruh belahan dunia, utamanya benua Afrika dan Asia. Dan tempat bersarangnya virus tidak hanya pada anjing dan kucing, namun juga banyak ditemukan di hewan liar. “Luar biasanya rabies itu bahwa penyebarannya sangat beragam, ada hewan liar, hewan domestik, bahkan campuran. Lalu ada siklus epidemiologinya tadi. Jadi ada paling tidak dua, atau tiga hewan yang siklusnya dibawa oleh hewan yang dekat dengan kita, atau hewan domestik. Sedangkan untuk hewan liar, siklusnya disebut rabies silvatik. Nah, kalau sebuah negara persebaran virusnya ada dua, yaitu urban dan silvatik, maka pengendaliannya akan lebih susah,” tutur drh. Heru.
Hambatan utama dalam penanganan rabies di Indonesia adalah kurangnya kesadaran akan bahaya rabies di masyarakat. Vaksinasi, khususnya untuk rabies urban sudah tersedia dan diimplementasikan di berbagai daerah. Sayangnya, dari 34 provinsi yang ada, hanya 11 provinsi yang dinyatakan bebas rabies. Menurut paparan Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan RI, dr. Imran Pambudi, MPHM, Kemenkes memiliki target Indonesia bebas rabies di 2030 dengan menciptakan herd immunity yang mengharuskan setidaknya 70% populasi anjing telah divaksin.
“Untuk kasus rabies paling tinggi itu ada Pulau Bali, tapi kalau kasus kematiannya paling banyak ada di NTB, Kalimantan, dan Pulau Timor. Utamanya Pulau Timor ini ya, sebelum tahun 2023, mereka tidak pernah ada kasus rabies, sehingga tidak pernah mengenal rabies itu seperti apa. Ini juga masih kami selidiki penyebarannya asalnya dari mana. Jadi karena penanganannya tidak mudah, terlambat di bawa ke fasilitas kesehatan, alhasil kasus kematiannya mencapai 16 kasus hingga saat ini,” papar dr. Imran.
Imran juga menjelaskan tata cara penanganan gigitan hewan rabies pada seseorang. Area luka harus segera dibersihkan dengan sabun dan air mengalir selama 15 menit. Kemudian beri antiseptik, berupa alkohol atau sejenisnya untuk mengantisipasi penyebaran virus. Ketika mengalami gejala tidak biasa setelah gigitan, seperti demam tinggi, maka dianjurkan untuk segera mendapatkan penanganan di fasilitas kesehatan terdekat.
“Upaya penanganan persebaran rabies ini juga dilakukan secara regional, ya. Jadi setiap pemerintah daerah itu harus memiliki kebijakan terkait pengendalian dan penanganan rabies sesuai kebijakan nasional. Nah, saya kira masalah utama kenapa penanganan rabies ini tidak bisa optimal adalah karena dana operasional yang kurang, jadi vaksin ini sumber dayanya juga masih minim. Selain itu, kesadaran masyarakat untuk vaksinasi rabies ini juga perlu didorong,” tambah dr. Imran. Ke depannya, ia berharap kolaborasi antar sektor dan elemen masyarakat dapat membantu mewujudkan Indonesia Bebas Rabies di tahun 2030.
Penulis: Tasya