JAKARTA – Indonesia memiliki sumber daya manusia intelektual yang cukup banyak yang memiliki kemampuan untuk mengembangkan bahan baku obat dalam negeri. Namun semua kesempatan tersebut terkendala oleh minimnya anggaran penelitian. Padahal dengan menghasilkan bahan baku obat sendiri diharapkan kemandirian bangsa indonesia di bidang obat dapat tercapai dalam 10-15 tahun mendatang.
Pakar farmakologi dari fakultas kedokteran UGM Prof. dr. Iwan Dwi Prahasto, M.Med.Sc., Ph.D., mengatakan saat ini 96 % bahan baku obat di Indonesia masih diimpor dari china dan India. Bahkan dalam kurun waktu 50 tahun terakhir, Indonesia menjadi salah satu negara bersama Filipina, Vietnam dan Myanmar yang ketergantungan bahan baku obat sangat tinggi. “Inilah yang menjadikan Indonesia sebagai negara yan posisi tawarnya relatif tidak menguntungkan dalam menetapkan kebijakan obat di tingkat regional, apalagi dunia,†kata Iwan dalam diskusi hasil rekomendasi hasil riset industri kesehatan nasional dalam Forum Riset Industri Indonesia ke-3 (3 rd IIRF), di gedung auditorium kampus UGM Jakarta, rabu (30/11).
Ketidakberdayaan untuk memproduksi bahan baku obat membuat masyarakat dan pemerintah pasrah terhadap pergerakan harga obat yang sangat sulit dikendalikan oleh pemerintah sekalipun. Hal itu disebabkan harga bahan baku obat sangat dipengaruhi oleh nilai tukar mata uang asing. “Kita punya 204 industri farmasi, sekitar 96 persen bahan baku obat impor dari china dan india. Investasi bukan bahan baku obat tapi pada packing, promosi dan penetrasi,†katanya.
Akibat bahan baku obat yang masih impor, banyak industri farmasi lebih memilih mengembangkan obat-obatan herbal dalam bentuk jamu dan suplemen. Karena untuk memproduksi obat baru membutuhkan dana sekitar ratusan juta dollar. “Butuh waktu 13-15 tahun untuk bisa jadi obat,†ujarnya.
Tingkatkan anggaran penelitian
Iwan menegaskan pemerintah perlu meningkatkan anggaran untuk kalangan perguruan tinggi untuk melakukan riset bahan baku obat dan teknologi kesehatan. Dia menyebutkan ada 180 ribu penelitian kesehatan namun sekitar 98 persen termasuk riset sumbu pendek, tidak komprehensif dan berkelanjutan. Bahkan terdapat penelitian yang sama dilakukan oleh peneliti dari perguruan tinggi yang berbeda. “Kalo pun ada riset yang baik, tidak dijembatani. Akibat terbatasnya dana di lingkungan perguruan tinggi untuk riset,†katanya
Selain itu, hampir 90 persen teknologi kedokteran dan kesehatan di indonesia masih harus impor untuk memenuhi pelayanan kesehatan. Kendati begitu, pemanfaatan high Technology bidang kesehatan sekitar 2 persen, sementara 42 persen teknologi rendah dan sisanya teknologi tingkat menengah. Menurutnya, SDM di Indonesia mampu mengembangkan teknologi kedokteran seperti yang dilakukan oleh negara maju. “Riset teknologi kesehatan tidak butuh lama, minimal 3 tahun,†katanya.
Staf Ahli Menkes, Dr. Dr. Soewarta Kosen, M.P.H., mengakui dana riset untuk kesehatan masih minim. Kendati tidak khusus diperuntukan untuk alokasi riset, imbuhnya, pemerintah akan terus meningkatkan anggaran kesehatan dengan mengalokasikan dana sekitar 5 persen dari APBN atau Rp 70 triliun dan 10 persen dari dana APBD di daerah. Dia mengusulkan kalangan perguruan tinggi juga ikut memanfaatkan bantuan dana dari internasional. “Dari APEC ada tawaran besar grant untuk riset,†katanya.
Wakil ketua kadin, bambang Sujagad menuturkan, dunia industri membutuhkan dukungan dari hasil riset perguruan tinggi. Namun demikian, industri saat ini sulit untuk bersaing dengan negara lain karena terkendala dengan besarnya bunga pinjaman perbankan dam beban biaya logistik dalam distribusi produk. “Dari segi financing, jika malaysia dan filipina, bunga bank hanya 6 persen sampai 10 persen. Kalo di dalam negeri capai 14 persen. Di industri, juga ada beban biaya sekitar 16 persen untuk logistik dalam ditribusi produk. Kalo negara tetangga malaysia hanya 5 persen. Bayangkan saja jika bawa jeruk dari medan sampai Jakarta berapa pos restribusi yang harus dilalui,†imbuhnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)