Pemerintah dan aparat penegak hukum diminta segera menelusuri data jutaan dokumen finansial Panama Papers dari sebuah firma hukum asal Panama yang bocor ke publik. Data bocoran itu perlu ditindaklanjuti untuk mencocokkan data pelaporan pajak dan kekayaan dari daftar orang Indonesia yang disebutkan dalam dokumen itu. “Ketua BPK ada di dalam daftar Panama Paper dan apalagi sampai sekarang tidak lapor LHKPN,” kata Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK, Sujanarko, dalam seminar Panama Papers: Penggelapan Pajak, Pencucian Uang dan Korupsi serta Dampaknya Bagi Perekonomian Indonesia yang berlangsung di FEB UGM, Jumat (22/4).
Dalam daftar tersebut dikatakan ada dokumen berupa 4,8 juta email yang melibatkan 2.961 nama orang Indonesia. Menurutnya, aparat penegak hukum dan Dirjen Pajak perlu mengusut tuntas. “Kalau di dalam negeri tidak mengusut, sangat sulit apabila kita meminta bantuan negara luar untuk membantu,” ujarnya.
Pengalaman KPK selama ini, kata Sujanarko, sejak 2004 aktif membantu apabila diperlukan lembaga anti korupsi negara luar untuk menangkap koruptor yang berada di Indonesia. “Makanya, saat kita memburu koruptor ada 11 negara ikut membantu sebagai volunter,” ujarnya.
Namun, ia menyayangkan apabila dokumen Panama Papers yang menurutnya sudah ada sejak 2006 itu tidak diusut tuntas maka negara luar akan enggan membantu. Data di Panama Papers yang menyebutkan adanya upaya penggelapan pajak dan pencucian uang yang dilakukan pengusaha dari Indonesia, Sujanarko mengakui tingkat kebenaran data tersebut. Ia mencontohkan salah satu tersangka korupsi alkes Kota Tangerang Selatan, Tubagus Chaeri Wardana, alias Wawan. Wawan ditangkap KPK dan diketahui memiliki koleksi banyak mobil mewah namun SPT tahunannya hanya 3 juta. “Wawan yang ditangkap KPK SPT tahunannya hanya 3 juta, bisa jadi lebih kecil dari pajak warteg,” ujarnya.
Dr. Bimo Wijayanto, anggota Kantor Staf Presiden, mengatakan data dari Panama Papers masih perlu dibuktikan tingkat kebenarannya agar bisa dijadikan alat bukti mengusut kasus penggelapan pajak.” Memang tahapannya sangat panjang namun administrasi perpajakan harus advance,” katanya.
Bimo mengatakan sementara ini belum ada kerja sama tax treaty (perjanjian perpajakan) antara Indonesia dan Panama. “Kita perlu mendorong perjanjian kerja sama Indonesia dan Panama. Yang bisa diajukan paling dekat adalah melihat tax amnesti sebagai pintu masuk,” katanya.
Ekonom UGM, Dr. Rimawan Pradiptyo, mengatakan Undang-undang perpajakan, undang perbankan dan UU Tipikor yang ada saat ini dinilainya tertinggal dari negara lain sehingga ketika muncul dokumen Panama Papers, aparat penegak hukum seolah tidak bisa berbuat banyak apalagi kejahatan finansial dilakukan di negara lain. “Penegak hukum seharusnya mengejar ketertinggalan, mengikuti pola dan inovasi kejahatan sehingga dibuat sistem penanggulangannya,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)