Pusat Kesehatan Mental Masyarakat atau Center for Public Mental Health (CPMH), Fakultas Psikologi UGM, mendorong pemerintah daerah untuk mendukung gerakan Indonesia bebas pasung. Pasalnya, terdapat 400 ribu penduduk Indonesia menderita gangguan jiwa dan diperkirakan 57 ribu hingga 60 ribu diantaranya pernah mengalami pemasungan. Masih adanya kasus pemasungan ini ditengarai masih belum bekerjanya secara optimal sistem layanan kesehatan jiwa bagi masyarakat.
Peneliti CPMH UGM, Dr. Diana Setiawati P, M.Hsc.Psy, mengatakan kasus pemasungan pada penderita gangguan jiwa sering terjadi disebabkan kurangnya literasi masyarakat tentang kesehatan jiwa, faktor sosial dan ekonomi serta sulitnya akses layanan kesehatan jiwa. Menurutnya, kasus pasung tidak hanya ditemukan di Indonesia melainkan di banyak negara. Namun begitu, sejak 2010 lalu Indonesia memiliki program gerakan Indonesia bebas pasung dan diterbitkannya UU No 18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa.”Namun kemajuan yang kita capai masih sangat lambat, pelaksanaan UU ini belum diterapkan sepenuhnya,” katanya kepada wartawan, Kamis (30/11).
Gerakan Indonesia bebas pasung, kata Diana, perlu didukung oleh pemerintah pusat dan daerah dengan mengidentifikasi temuan kasus pasung di daerah, meningkatkan keterampilan tenaga medis tentang kesehatan jiwa dan mengotimalkan pusat kesehatan, seperti puskesmas, dan grasia untuk mendeteksi langsung pasien yang terindikasi kena gangguan jiwa.
Salah satu kegiatan yang dilakukan CPMH UGM adalah mengatasi kasus pasung di Kabupaten Kebumen dengan melakukan pengembangan sistem kesehatan mental. Bekerja sama dengan pemerintah daerah Kebumen juga menginisiasi pendirian pusat rehabilitasi kesehatan mental untuk meningkatkan kapasitas dalam melakukan metode advokasi efektif terhadap penderita gangguan mental.
Pakar gangguan kesehatan mental dari Universitas Melboune, Australia, Prof Harry Minas, mengatakan pemasugan pada penderita gangguan jiwa termasuk bentuk pelanggaran HAM sehingga dilarang. Dipasungnya penderita gangguan jiwa, menurutnya, sama saja mengurangi hak si penderita untuk mendapat layanan kesehatan yang sama dengan pasien lain, seperti penderita jantung atau penderita kanker.. “Selain melanggar HAM, orang yang dipasung otomatis tidak diobati, tidak sembuh, maka akan semakin sakit jiwanya,” ujarnya.
Namun demikian, kata Minas, masih ada pola pikir dan kultur di masyarakat yang menganggap pemasungan adalah satu cara untuk menyembuhkan si pasien gangguan jiwa atau dengan alasan untuk melindungi pasien agar tidak mengganggu orang lain. “Padahal komunitas masyarakat dan keluarga tidak punya hak untuk memasung,” imbuhnya.
Menurutnya, sebaiknya pasien yang mengalami gangguan jiwa harus dirujuk langsung untuk diobati ke puskesmas atau ke rumah sakit jiwa. Namun begitu, kata Minas, kenyataan di lapangan tidak semua dokter atau perawat di pusat layanan kesehatan mengetahui gejala klinis pasien terkena gangguan penyakit jiwa. Oleh karena itu, diperlukan pelatihan untuk meningkatkan kompetensi pengenalan gejala klinis penderita gangguan mental. “Tidak semua dokter dan perawat mendapat pelatihan tentang kesehatan mental,” ujarnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)