Asas itikad baik berasal dari hukum Romawi. Di dalam hukum Romawi asas ini disebut Bonafides. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mempergunakan istilah itikad baik dalam 2 pengertian. Pertama, itikad baik dalam pengertian arti subyektif.
Dalam bahasa Indonesia, itikad baik dalam arti subyektif disebut kejujuran. Hal itu terdapat dalam pasal 530 KUHP Perdata dan seterusnya yang mengatur mengenai kedudukan berkuasa (bezit). Itikad baik dalam arti subyektif ini merupakan sikap batin atau suatu keadaan jiwa.
Demikian dikatakan Prof Dr Siti Ismijati Jenie SH CN saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Hukum UGM, hari Senin (10/9) di ruang Balai Senat UGM. Ketua Pengelola Magister Kenoktariatan UGM ini menyampaikan Pidato Pengukuhan berjudul “Itikad Baik, Perkembangan Dari Asas Hukum Khusus Menjadi Asas Hukum Umum Di Indonesiaâ€.
Kata Ismijati Jenie, pengertian kedua yaitu itikad baik dalam arti obyektif. Dalam bahasa Indonesia disebut kepatutan. Hal ini dirumuskan dalam ayat (3) pasal 1338 KUH Perdata yang berbunyi :â€Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baikâ€.
Mengutip pasal 1338 (3) KUH Perdata, menurut pengelola bagian akademik PPSN UGM, kejujuran (itikad baik) tidak terletak pada keadaan jiwa manusia, akan tetapi terletak pada tindakan yang dilakukan oleh kedua belah pihak dalam melaksanakan janji, jadi kejujuran disini bersifat dinamis.
“Kejujuran dalam arti dinamis atau kepatutan ini berakar pada sifat peranan hukum pada umumnya, yaitu usaha untuk mengadakan keseimbangan dari berbagai kepentingan yang ada dalam masyarakat,†tukas Pengelola Program S2-S3 Reguler. (Humas UGM).